Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) mengungkapkan masih terdapat beberapa tantangan dalam upaya menggenjot ekspor dari sisi pengusaha, terutama pelaku manufaktur.
Pertama, instrumen pembiayaan yang mendukung eksportir masih dangkal dan minimnya insentif yang diberikan pelaku eksportir dari pemerintah. Kedua, ongkos produksi yang tinggi serta tumpang tindihnya peraturan di Indonesia.
Ketua Umum GPEI Benny Sutrisno mengatakan, pemerintah sebetulnya sudah menyediakan lembaga yang cukup untuk mendukung ekspor. Misalnya, Kementerian Perdagangan sudah membuat Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Sementara itu, pemerintah juga mempunyai PT Asuransi Ekspor Indonesia.
Namun, menurut Benny, kedua lembaga keuangan tersebut masih jauh dari maksimal dalam mendukung para eksportir, khususnya manufaktur.
“Kenapa LPEI ini kalau kita mau ekspor, walaupun saya punya LC [letter of credit] dari First Bank itu selalu minta jaminan dalam bentuk aset. Itu istilah saya hipotek lah. Kenapa tidak bisa back to back LC. Kalau kita bisa mengelola hasil ekspor ke LPEI kita mungkin bisa melakukan hal itu. Jadi instrumen pembiayaan ekspor kita masih dangkal. Bagaimana mau ngepush ekspor?” ujar Benny dalam acara diskusi di Jakarta, dikutip Kamis (22/6/2023).
Benny juga mengatakan bahwa eksportir masih banyak yang justru dibiayai oleh bank luar negeri lantaran jauh lebih menguntungkan. Dengan begitu, kata dia, otomatis yang dapat untung dari hasil ekspor Indonesia adalah asing.
Baca Juga
“Namun, kita lihat surplusnya [ekspor] tinggi, ditaruh di [bank] Singapura. Karena uang itu nggak ada presidennya, nggak ada agamanya. Di mana dia bisa beternak dia pindah. Ini yang harus kita mengertilah,” ucapnya.
Menurut Benny, dirinya pernah dijanjikan oleh Bank Indonesia mengenai insentif untuk para eksportir. Namun, hingga kini, insentif tersebut belum juga terealisasi dalam bentuk apapun. Di samping itu, Benny pun mengungkapkan alasan mengapa para eksportir memarkir uangnya di bank asing dibanding bank dalam negeri.
“Pada suatu saat saya diskusi dengan BI, katanya akan diberikan insentif tapi sampai hari ini, tidak ada. kalau diberi apa insentifnya? Kalau saya taruh di Bank Mandiri, deposito valas mungkin paling tinggi satu sekian persen. Begitu saya taruh di Singapura saya dapat 5 persen. Itu wajar-wajar saja kan,” ucap dia.
Lebih lanjut, Benny yang juga Direktur Utama PT Apac Inti Corpora itu mengungkapkan pinjaman dari asing juga dilakukan oleh oleh para eksportir produk esktraktif atau sumber daya alam seperti batu bara.
“Masalahnya temen-temen SDA saya dibiayai dari luar negeri. Otomatis kembali dari luar. Banknya paling besar dari China, ya balik ke sana. Nggak mungkin ke sini, Pak,” ujar Benny.
Selain itu, Ketua Bidang Perdagangan Apindo itu menilai terhambatnya ekspor manufaktur juga disebabkan ongkos produksi yang tinggi. Dia pun membandingkannya dengan biaya produksi negara di Afrika.
“Saya ditawari Mendag Kenya. Pak Benny mau investasi di Kenya pasar Afrika besar dan Kenya ke seluruh Afrika itu zero duty. Saya tanya berapa harga listriknya Kenya, 5 sen per kwh. Di kita 12 sen per kwh. Jauh, Pak,” ungkap dia.
Menurut Benny, pengusaha di Indonesia juga selalu dihadapkan dengan kenaikan upah yang tiap tahunnya wajib naik. Hal tersebut, kata dia, berbeda dengan negara di Afrika.
“Tiap tahun industri manufaktur itu selalu berhadapan dengan kenaikan upah. Selalu naik dan harus naik. Saya tanya ke Mendag Kenya ini, bilateral saja, kalau Pak Benny setuju bayar 100 ya dia terima 100,” ucapnya.
Di samping itu, Benny juga mengatakan, pelaku usaha Indonesia juga mendapat tantangan besar dari rumitnya regulasi di Indonesia.
“Terlalu banyak. Istilah saya ini, praduga asas terlarang. Semua dilarang kecuali yang diizinkan. Aturan satu belum selesai ada aturan lagi. Padahal sudah ada Omnibus, bayangkan kalau tidak ada. Jadi siapa yang jadi pengusaha di Indonesia, itu udah jagoan pak. karena banyak aturannya, banyak halangannya tapi masih eksis. Kalau orang asing jadi pengusaha di sini, udah mati berdiri,” tutur Benny.