Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) melaporkan tingginya produksi sawit nasional memperkuat dukungan terhadap kinerja ekspor non migas Indonesia.
Pada 2022, ekspor non migas Indonesia senilai US$275,96 miliar. Dari nilai tersebut, share ekspor CPO dan produk turunannya sebesar 15 persen atau senilai US$41,32 miliar.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan RI Farid Amir mengatakan tren peningkatan nilai ekspor CPO dan Produk Turunannya selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 20 persen. Sementara itu, nilai ekspor CPO dan produk turunan Indonesia sebesar US$41,32 miliar pada 2022 dan volume ekspor berjumlah 35,52 juta ton .
Produk sawit Indonesia dapat memenuhi pertumbuhan kebutuhan minyak nabati dunia yang mencapai 307,9 juta ton pada 2050. Beragam keunggulan minyak sawit harus dimaksimalkan pengembangannya agar semakin kompetitif dibandingkan minyak nabati non sawit.
Saat ini, Indonesia telah berkontribusi 22 persen dari total produksi minyak nabati dunia dan 60 persen lebih dari produksi minyak sawit dunia.
“Dengan produksi minyak sawit dunia mencapai 75,5 juta ton. Indonesia harus bangga menjadi produsen terbesar dengan total produksi 46,88 juta ton pada 2021. Berikutnya Malaysia sebesar 18,7 juta ton,” ujar Farid Amir saat menjadi narasumber dalam kegiatan Promosi Sawit Sehat yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dikutip Kamis (15/6/2023).
Baca Juga
Dari catatan Kemendag RI, walaupun tren ekspor sawit terus tumbuh, Indonesia menghadapi tantangan dan hambatan berat di negara tujuan ekspor. Farid Amir menjelaskan sektor sawit Indonesia memiliki tantangan untuk mempercepat transisi dari Konsep 3 Pilar Sustainability (economy, society, environment) menuju sistem circular economy.
Adapula sejumlah isu yang dihadapi produk sawit seperti isu terkait Genetically Modified Organism (GMO) food pada minyak nabati, kampanye negatif oleh oleh NGO, negara, atau perusahan produsen minyak nabati lainnya, dan isu lingkungan dan sosial terkait perkebunan kelapa sawit serta isu kesehatan minyak sawit untuk pangan.
“Selain itu, Indonesia juga menghadapi hambatan perdagangan sawit di Uni Eropa dengan hadirnya EUDR,” tambah Farid.
Qayuum Amri, Pemimpin Redaksi Majalah Sawit Indonesia, dalam kata sambutannya, menjelaskan bahwa kegiatan promosi Sawit Sehat berlangsung di tiga kota yaitu Solo, Madiun, dan Jakarta yang telah berjalan semenjak Maret 2023.
Melalui kegiatan ini, BDPKS dan Majalah Sawit Indonesia menyampaikan aspek positif sawit kepada masyarakat kepada pelaku UKM berkaitan aspek gizi, ekonomi, dan sosial.
“Penyampaian informasi positif sawit kepada masyarakat harus berjalan kontinyu yang melibatkan berbagai stakeholder baik pemerintah, asosiasi, dan media. Sebab, media memiliki peranan penting untuk meng-counter isu negatif sawit di masyarakat,” ujar Qayuum.
Dalam kesempatan yang sama, Fadhil Hasan, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menjelaskan bahwa EUDR ini memang regulasi yang membuat perubahan signifikan perdagangan ekspor sawit kita di Uni Eropa. Sebelumnya ada hambatan melalui RED II yang menghambat konsumsi sawit untuk sektor biofuel.
“Tetapi dengan adanya EUDR ini bukan hanya sektor energi yang dihambat tetapi juga sektor pangan. Jadi EUDR ini sangat luas dampaknya kepada sektor food, energi, dan industri,” jelas Fadhil.
Dikatakan Fadhil, ekspor dari Indonesia dan Malaysia turun signifikan ke Uni Eropa semenjak 2017. Indonesia pernah mengekspor produk sawit secara total 5,5 juta ton. Namun turun menjadi 3,7 juta ton pada 2022.
“Padahal, konsumsi minyak nabati di Uni Eropa tumbuh 4,3 persen. Yang terjadi sekarang, kalau sebelumnya lebih banyak menggunakan sawit. Sekarang Eropa beralih kepada minyak nabati yang diproduksi di negaranya. Ini terjadi setelah adanya hambatan kepada sawit. Restriksi perdagangan terjadi akibat adanya persaingan dengan minyak nabati lain,” ungkap Fadhil.