Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan kebutuhan nikel kadar rendah atau limonite untuk memenuhi target manufaktur baterai kendaaraan listrik jenis NMC 811 mencapai 59.506 ton pada 2035 mendatang.
Proyeksi kebutuhan bijih nikel untuk baterai setrum itu naik dua kali lipat dari perkiraan permintaan pada 2025 sebesar 25.133 ton.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufik Bawazier mengatakan, proyeksi itu memperlihatkan peluang nilai tambah yang besar untuk pengembangan industri lebih lanjut turunan limonite hingga sampai ke nikel sulfat dan kobalt sebagai bahan baku baterai listrik antara nantinya.
“Hitung-hitungan kita di roadmap yang sudah kita buat sekitar 20 persen kendaraan listrik di 2025 itu butuh 25.133 ton nikel untuk kendaraan listrik dan 2035 sekitar 59.506 ton,” kata Taufik saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Menurut Taufik, kapasitas smelter pengolahan limonite saat ini sudah dapat memasok bahan baku yang dibutuhkan mengikuti proyeksi kebutuhan produksi baterai listrik hingga 2035 mendatang.
Asumsinya, terdapat sekitar 6 juta kendaraan listrik roda dua yang sudah beredar di tengah masyarakat yang diikuti dengan 400.000 mobil listrik pada 2025 mendatang. Kebutuhan nikel untuk baterai listrik itu bakal naik signifikan seiring dengan proyeksi pembelian kendaraan roda dua dan roda empat listrik masing-masing di angka 12 juta dan 1 juta pada 2035.
Baca Juga
Sementara itu, Kemenperin menetapkan daya setrum untuk kendaraan listrik roda dua sebesar 1,44 kWh dan roda empat di level 60 kWh. Lewat perhitungan itu, kebutuhan untuk nikel berada di kisaran 0,7 kilogram, mangan 0,096 kilogram, dan kobalt 0,096 kilogram.
“Dengan kapasitas nasional sudah mampu untuk memasok, ini yang perlu diperkuat investasi pabrik baterai yang bisa mendukung ekosistem kita,” kata Taufik.
Di sisi lain, dia meminta dukungan dari parlemen untuk mengarahkan investasi baru lebih intensif pada pengembangan smelter berteknologi high pressure acid leaching (HPAL) atau hidrometalurgi yang saat ini masih timpang jika dibandingkan dengan smelter pemurnian jalur baja nirkarat atau stainless steel, rotary kiln electric furnace (RKEF).
Berdasarkan data milik Kemenperin, baru terdapat tiga smelter HPAL yang telah beroperasi saat ini, di antaranya milik PT Huayue Nickel Coblat, PT QMB New Energy Material, serta PT Halmahera Persada Lygend. Sementara itu, pabrik HPAL milik PT Kolaka Nickel Indonesia masih dalam tahap studi kelayakan yang ditarget beroperasi komersial pada 2026.
Keempat smelter itu memiliki nilai investasi mencapai US$4,88 miliar dengan kapasitas produksi olahan limonite mencapai 1,035 juta ton mixed hydroxide precipitate (MHP) setiap tahunnya. Keempat smelter itu diharapkan dapat menyerap 12.220 tenaga kerja.
Sementara itu, terdapat 34 smelter RKEF yang telah beroperasi di bawah naungan Kemenperin hingga saat ini. Adapun, terdapat 17 konstruksi smelter RKEF baru dan 6 masih dalam tahap studi.
Kemenperin memproyeksikan total investasi yang diamankan dari seluruh smelter RKEF itu mencapai lebih dari US$11 miliar dengan kapasitas produksi nickel pig iron (NPI) mencapai 27 juta ton setiap tahunnya. Pemerintah menargetkan smelter jalur stainless steel itu dapat mencapai 99.000 orang.