Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mendorong kebijakan wajib pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) komoditas olahan bauksit, smelter grade alumina (SGA) untuk menopang industri aluminium nasional selepas moratorium ekspor bahan mentah mineral pada 10 Juni 2023.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Irwandy Arif mengatakan, pemerintah berkepentingan untuk memprioritaskan hasil produksi turunan bijih bauksit untuk diolah lebih lanjut di dalam negeri.
“Yang penting seluruh mineral itu diutamakan dalam negeri dulu, itu semua begitu,” kata Irwandy saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Saat ini, kata Irwandy, kebijakan DMO baru terbatas diterapkan untuk komoditas batu bara untuk kepastian pasok pembangkit listrik dan industri strategis domestik lainnya.
“Yang sudah diatur itu presentase batu bara, semuanya harus dalam negeri dulu,” kata dia.
Rencana penyusunan kebijakan DMO turunan bijih bauksit itu mengemuka saat rapat kerja bersama dengan Komisi VII, Rabu (24/5/2023). Saat itu, Kementerian ESDM menjelaskan ihwal peta jalan industrialisasi mineral logam selepas moratorium ekspor efektif pada 10 Juni 2023 mendatang.
Baca Juga
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kebijakan wajib pasok SGA itu diharapkan dapat mendorong investasi lanjutan pada pabrik pengolahan aluminium di dalam negeri.
“Pengembangan produk smelter grade alumina ke industri aluminium seperti aluminium sheet, aluminium bar, align aluminium sheet untuk pabrik mobil dan kontruksi,” kata Arifin saat raker tersebut.
Rencana kebijakan DMO itu menjadi bagian strategis dari peta jalan pengembangan ekosistem industri pengolahan mineral di dalam negeri selepas terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 yang mengatur ihwal pertambangan serta hilirisasi mineral dan batu bara.
Lewat undang-undang itu, kewenangan Kementerian ESDM berada pada sisi eksplorasi sampai dengan pengolahan atau pemurnian mineral. Sementara itu, Kementerian Perindustrian bertanggungjawab untuk menarik lebih hilir pengembangan mineral hasil pemurnian tersebut menjadi produk bernilai tinggi hingga tingkat konsumen.
“Koordinasi dengan Kemenperin difokuskan pada pemenuhan pada kebutuhan bahan baku industri yang belum tersedia di dalam negeri,” kata dia.
Selepas moratorium ekspor bauksit 10 Juni 2023 mendatang, pemerintah mengidentifikasi kapasitas input empat smelter yang sudah beroperasi komersial di dalam negeri sebanyak 13,88 juta ton, dengan kapasitas produksi SGA mencapai 4,3 juta ton.
Adapun, keempat smelter yang beroperasi saat ini, di antaranya PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, Ketapang, dengan kapasitas produksi SGA mencapai 1 juta ton. Lalu, smelter PT Well Harvest Winning Alumina Refinery hasil ekspansi yang menambah kapasitas produksi SGA perusahaan sebanyak 1 juta ton.
Smelter yang sudah beroperasi ketiga milik PT Indonesia Chemical Alumina, Tayan, dengan kapasitas produksi chemical grade alumina (CGA) mencapai 300.000 ton. Selanjutnya, smelter keempat milik PT Bintan Alumina Indonesia, Bintan, dengan kapasitas produksi SGA sebesar 2 juta ton.
Kementerian ESDM mencatat bakal ada pengurangan ekspor bauksit sampai dengan 8,09 juta ton selepas periode moratorium nanti. Volume ekspor bauksit tertahan itu mencapai US$288,52 juta setara dengan Rp4,31 triliun (asumsi kurs Rp14.945 per dolar AS).
Pada 2024, terdapat bauksit yang tidak diserap dalam negeri sebesar 13,86 juta ton setara dengan nilai ekspor kurang lebih US$494,6 juta atau Rp7,39 triliun. Konsekuensinya, penerimaan negara dari royalti bauksit bakal terkoreksi US$49,6 juta setara dengan Rp741,27 miliar.
“Namun dari fasilitas pemurnian yang telah beroperasi, terdapat nilai tambah bijih bauksit sebesar US$1,9 miliar [Rp28,39 triliun] sehingga pemerintah masih mendapatkan manfaat bersih sebesar US$1,5 miliar [Rp22,41 triliun] dan lapangan pekerjaan untuk 7.627 orang,” kata Arifin.
Saat ini, masih terdapat delapan smelter dalam proses pembangunan dengan kapasitas input bauksit keseluruhan mencapai 27,41 ton dan kapasitas produksi alumina sebesar 9,98 juta ton.
Hanya saja, Indonesia baru memiliki satu pabrikan aluminium milik PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum, Kuala Tanjung, dengan kapasitas input alumina sekitar 500.000 ton setiap tahunnya. Sementara kemampuan produksi Inalum untuk aluminium ingot berada di batas atas 225.000 ton, aluminium alloy dengan kapasitas 90.000 ton, dan aluminium billet dengan kemampuan produksi 30.000 ton.
Mengacu pada peta rantai pasok bauksit Indonesia milik Kementerian ESDM pada 2020, saat itu produksi bijih bauksit dalam negeri setiap tahunnya sebesar 26,3 juta ton. Volume produksi itu sebagian besar diekspor sekitar 22,8 juta ton, sisanya 1,74 juta ton dipakai di dalam negeri untuk pengolahan alumina.
Lewat alokasi domestik itu, Indonesia bisa memproduksi 1,17 juta ton alumina, hanya saja 0,99 juta ton alumina mesti diekspor. Sisanya, 150.000 ton SGA dialokasikan untuk pemurnian aluminium dalam negeri dan 25.000 CGA dialihkan langsung untuk industri seperti kertas, detergen, kabel dan lainnya.
Dengan demikian setiap tahunnya, Indonesia baru memproduksi aluminium sebesar 250.000 ton dan diperlukan impor SGA mencapai 350.000 ton. Di sisi lain, kebutuhan aluminium domestik sebesar 1 juta ton, sehingga setiap tahunnya Indonesia mesti mengimpor sekitar 748.000 ton aluminium.