Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyebut fenomena relokasi pabrik dari daerah dengan upah minimum kota/kabupaten (UMK) tinggi ke wilayah lain yang memiliki UMK lebih rendah, sebagai suatu hal umum bagi industri padat karya.
Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri menuturkan, hal ini menjadi strategi perusahaan-perusahaan manufaktur untuk bertahan. Meskipun Firman tidak membeberkan data pabrik mana saja yang telah melakukan relokasi.
Terlebih, menurutnya, jika upah pekerja di industri padat karya umumnya memiliki porsi sebesar 15 hingga 25 persen dari ongkos produksi. Sebaliknya, porsi upah untuk industri padat karya yang berada di daerah dengan UMK tinggi biasanya berkontribusi hingga 27 persen dari total ongkos produksi.
Di sisi lain, untuk menguasai pasar global industri padat karya seperti alas kaki dan tekstil dan produk tekstil (TPT) harus memperhitungkan harga jual agar bisa memenangkan persaingan dengan negara seperti Vietnam.
Vietnam diketahui memiliki pasar ekspor produk alas kaki dan TPT yang sama dengan Indonesia, yaitu Amerika Serikat dan Eropa.
Bahkan, Vietnam telah menjalin kerja sama dagang dengan Uni Eropa (UE) yang akan berdampak pada harga jual produk alas kaki Vietnam di Eropa lebih miring dibandingkan dengan produk dari Indonesia.
Baca Juga
Dengan demikian, menurut Firman, pengusaha baik industri alas kaki maupun TPT akhirnya memilih untuk memangkas beban upah agar dapat menjual produk dengan harga yang kompetitif.
“Dari dulu kenaikan UMK di Indonesia kan cukup tinggi, sementara harga jual cenderung tetap dan tidak naik. Jadi untuk menyiasati bisa bersaing dengan negara seperti Vietnam, maka pabrik-pabrik banyak yang melakukan relokasi ke daerah lain,” tutur Firman kepada Bisnis pada Rabu (24/5/2023).
Namun, Firman menjelaskan langkah relokasi itupun belum meredam krisis di industri, kondisi diperparah adanya penurunan permintaan luar negeri yang berimbas pada penurunan produksi. Hal ini,yang menurutnya membuat badai PHK tidak kunjung berakhir.
Di sisi kota yang ditinggalkan Firman menyampaikan relokasi pabrik ini akan berdampak pada menurunnya perekonomian, dikarenakan bertambahnya jumlah pengangguran dan menurunnya daya beli masyarakat.
Dalam catatan Bisnis pada Selasa (7/2/2023) sebanyak 14 pabrik garmen di Jawa Barat mengancam akan memindahkan basis produksinya imbas dari tingginya upah yang harus dibayarkan.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat mencatat ke-14 pabrik itu sebanyak 10 pabrik di Kabupaten Bogor dan 4 pabrik di Purwakarta.
Sebelumnya, pada Kamis (8/12/2022) lalu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebutkan setidaknya ada 97 perusahaan yang memindahkan pabriknya ke Jawa tengah sepanjang Januari hingga awal Desember 2022.