Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia terpilih menjadi tuan rumah perhelatan World Water Forum 2024. Dalam kick-off meeting Februari lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan pesan bahwa konservasi air dan ketersediaan air bersih harus menjadi prioritas.
Di tengah isu krisis air dunia, rilis data Kementerian PUPR tahun 2022 menunjukkan tingkat kebocoran air (Non Revenue Water/ NRW) di Indonesia sebesar 33,72%. Artinya ada 1,7 miliar meter kubik air terbuang dalam 1 tahun, berakibat pada hilangnya potensi pendapatan sebesar Rp9,6 triliun per tahun. Sedangkan secara kualitas, kebocoran pipa membuka potensi kontaminasi mikrobiologi dan fisik masuk ke pipa pelanggan.
Angka NRW di Malaysia sebesar 33,40%, tetapi dengan catatan cakupan pelayanan di negeri jiran tersebut hampir 100% perpipaan. Sedangkan di Singapura kehilangan air ditekan hingga 5% sebagai bentuk komitmen negara dalam mitigasi ketahanan dan keamanan air minum. Ibu kota Filipina, Manila mencatatkan angka NRW sebesar 12%. Bandingkan dengan angka NRW di Jakarta yang mencapai 46,67%, artinya hampir setengah dari air yang diolah terbuang percuma.
Sama halnya ketika keran air di rumah bocor, langkah awal mengurai persoalan adalah dengan mematikan sumber kebocoran. Pengurangan angka kehilangan air akan menjadi langkah konkret dalam peningkatan efisiensi operasional dan perkuatan ketahanan pasokan air minum.
Terdapat beragam tantangan dalam penurunan kebocoran air, antara lain tinginya mobilisasi dan aktivitas di jalan raya, padatnya permukiman penduduk, ketrampilan teknis dan teknologi yang belum memadai, serta infrastruktur yang sudah menua. Di sisi sumber daya manusia, staf terlatih masih sedikit, ditambah dengan minimnya komitmen manajemen puncak terkait penanganan kebocoran air.
Upaya-upaya penurunan kehilangan air dengan cara konvensional antara lain penertiban sambungan liar dan sambungan ilegal, peningkatan akurasi pembacaan meter air pelanggan secara digital, manajemen tekanan, dan perbaikan sistem jaringan distribusi serta penggantian kebocoran pipa. Penggantian kebocoran pipa yang saat ini dilakukan seringkali bersifat tambal sulam di titik lokasi kebocoran, bukan perbaikan holistik.
Baca Juga
Tak dipungkiri, kendala terbesar dalam penurunan kebocoran air adalah pendanaan. Pembiayaan konvensional hanya mengandalkan kantong Pemerintah Pusat dan Daerah melalui APBN dan APBD. Pada kenyataannya realisasi APBN dan APBD tidak sesuai target, diperparah dengan efisiensi anggaran sebagai dampak pandemi Covid-19.
Dengan keterbatasan anggaran Pemerintah, maka diperlukan adanya perubahan pola pikir untuk mengurangi ketergantungan pendanaan Pemerintah dan melakukan pendanaan non-publik dalam pembiayaannya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 yang kemudian didetailkan dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 19 Tahun 2016, dibuka peluang investor untuk melakukan kerja sama berupa investasi teknologi pengoperasian dan pemeliharaan dalam rangka mengupayakan penyelenggaraan infrastruktur air minum yang efektif dan efisien dengan mekanisme kontrak berbasis kinerja.
Menurut Hendrawan (2015), kontrak dengan skema konvensional memiliki kekurangan yaitu kurang efisien dalam penggunaan SDM, biaya dan waktu serta lemahnya pengawasan dalam penerapannya. Untuk itu diperlukan terobosan baru dalam skema kerja sama, salah satunya dengan Kontrak Berbasis Kinerja (KBK). Skema KBK ini telah banyak dilakukan di sektor infrastruktur pemeliharaan jalan.
Kingdom, et al (2018) mendefinisikan Kontrak Berbasis Kinerja (KBK) sebagai kerja sama investasi konstruksi yang berfokus pada pemenuhan indikator kinerja, keluaran, kualitas dan hasil yang ditetapkan dalam perjanjian kerja sama. KBK dapat dikategorikan sebagai kontrak terintegrasi karena menggabungkan antara perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Prinsip dari kontrak berbasis kinerja adalah pengukuran dari hasil kerja pihak badan usaha secara terukur dan spesifik serta menerapkan value based incentives yang besarannya tergantung dari besarnya air yang terselamatkan.
Berdasarkan opsi pembiayaan ini, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) air minum hanya akan mengeluarkan biaya modal awal berupa pemasangan instrumen dan peralatan digital pada infrastruktur untuk mengukur baseline pengukuran kebocoran air. Biaya tetap terkait upaya penurunan kehilangan air dan pemeliharaan selanjutnya dilakukan oleh pihak investor.
Dengan adanya KBK, BUMD air minum dimungkinkan untuk mengambil manfaat dari keahlian maupun teknologi dari badan usaha swasta. Kontrak berbasis kinerja juga memiliki sifat income generating, artinya air yang diselamatkan dapat dijual oleh BUMD air minum dan menambah pendapatan. Salah satu praktik baik pelaksanaan KBK penurunan kehilangan air yaitu di Ho Chi Minh, Vietnam dengan jumlah air yang diselamatkan sebesar 122.000 meter kubik per hari air dan pihak badan usaha mendapatkan remunerasi lebih dari 70%.
Lingkup implementasi KBK dalam penurunan NRW dimungkinkan antara lain melalui jasa penasehatan, penggantian meter air pelanggan, pendeteksian kebocoran dan perbaikan pipa, pembentukan District Meter Area (DMA), investasi penggantian pipa serta penerapan transformasi teknologi (smart grid water management) dalam penurunan NRW.
Terdapat empat kelebihan KBK dalam penurunan kehilangan air. Pertama, pihak badan usaha dimungkinkan untuk memperoleh incentive fee lebih dari 100% apabila kinerjanya maksimal. Kedua, adanya mekanisme yang sistematis dengan indikator yang terukur dan konsekuensi yang jelas. Ketiga, kegiatan peningkatan pelayanan yang terukur dengan investasi badan usaha swasta. Terakhir, dimungkinkan adanya inovasi teknologi dan transfer knowledge dari pihak investor
Upaya pembenahan kebocoran air melalui KBK menjadi satu langkah kemitraan pendanaan (blended finance) pemerintah dan sektor swasta. Skema ini memungkinkan pembenahan tak hanya secara teknis, namun juga menajdi transformasi pengelolaan air minum secara terpadu.