Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jika Rasio Pajak RI Tembus 15 Persen, Banggar DPR: Kita Tidak Perlu Utang!

Sepanjang tahun lalu, rasio pajak Indonesia bertengger di level 10,41 persen. Perolehan ini naik dari tahun 2021 yang mencapai 9,12 persen.
Wajib pajak beraktivitas di salah satu kantor pelayanan pajak pratama, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Wajib pajak beraktivitas di salah satu kantor pelayanan pajak pratama, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari Fraksi Demokrat Marwan Cik Asan menilai jika rasio pajak atau tax ratio dapat tembus hingga 15 persen, maka penerimaan negara yang diraih akan membuat Indonesia tidak perlu lagi berutang. 

Sepanjang tahun lalu, rasio pajak Indonesia bertengger di level 10,41 persen. Perolehan ini naik dari tahun 2021 yang mencapai 9,12 persen dan tahun 2020 sebesar 8,33 persen. Adapun rasio pajak yang ideal bagi suatu negara seharusnya mencapai 15 persen. 

“Terbayang oleh kita, kalau tax ratio ini bisa mencapai 15 persen, ada Rp3.000 triliun uang dari pajak ini masuk. Sekarang kita untuk mencapai Rp1.700 triliun terengah-engah,” ujarnya saat rapat dengar pendapat umum dengan pakar perpajakan, Selasa (4/4/2023).

Marwan juga mengungkapkan apabila Indonesia mampu meraih tax ratio 15 persen, bukan tidak mungkin, negara tak lagi memerlukan utang dan suntikan dana dari berbagai instrumen lain. 

Menurutnya, dengan rasio pajak mencapai 15 persen, penerimaan pajak yang masuk ke kantong negara diperkirakan mencapai Rp3.000 triliun. Jumlah ini nyaris mendekati anggaran belanja negara dalam APBN 2023 yang disepakati sebesar Rp3.061,2 triliun.

“Tidak perlu kita mikirin burden sharing, tidak perlu kita mikirin SBN [Surat Berharga Negara], tidak perlu kita mikirin cari utangan, tidak perlu,” tuturnya. 

Pada kesempatan yang sama, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam juga sepakat bahwa meningkatnya rasio pajak Indonesia dapat mendorong penerimaan negara yang jauh lebih besar. 

Untuk mencapai hal itu,  Darussalam mengungkapkan adanya tiga sektor potensial untuk mendorong penerimaan pajak. Tiga sektor ini adalah konstruksi, pertambangan, dan pertanian. 

Menurutnya, ketiga sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi minim bagi penerimaan pajak negara

Sektor konstruksi, misalnya, memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 9,8 persen. Namun, kontribusi bagi penerimaan pajak hanya mencapai 4,5 persen. Hal ini dikarenakan sektor konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final

Sementara itu, sektor pertambangan berkontribusi sebesar 12,2 persen terhadap PDB. Namun, kontribusi pajaknya hanya menyumbang 8,3 persen. Adapun, sektor pertanian menyumbang 12,4 persen kepada PDB, namun sumbangsih terhadap pajak sebesar 1,4 persen. 

Darussalam menilai jika postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2023-2024 bisa memenuhi ekspektasi, pemerintah perlu melihat sektor-sektor yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDB, tetapi minim bagi penerimaan pajak. 

“Ini mungkin bisa menjadi diskusi bersama bagaimana memajaki terkait dengan tiga sektor tersebut, yakni pertambangan, konstruksi, dan pertanian,” tuturnya. 

Di sisi lain, rasio pajak pada 2023 diperkirakan melemah dibandingkan 2022. Ini seiring dengan normalisasi tax buoyancy atau elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data presentasi Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rahadian Zulfadin, tax buoyancy diperkirakan berada di level 0,09 pada tahun ini, setelah dua tahun terakhir parkir di posisi 2,04 dan 2,08 

Angka tax buoyancy di bawah 1 menandakan bahwa tren penurunan rasio pajak karena pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak.

Selaras dengan hal tersebut, tax ratio diproyeksikan parkir pada level 9,61 persen atau lebih rendah dari tahun 2022 yang mencapai 10,41 persen.

Rahadian menyampaikan bahwa tantangan dalam mencapai target penerimaan pajak pada tahun ini disebabkan oleh moderasi harga komoditas, serta tidak adanya momentum berulang seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper