Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2001-2006 Hadi Poernomo menilai kenaikan tarif pajak merupakan jalan terakhir dalam upaya mendorong peningkatan penerimaan negara.
Tahun lalu, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 10 persen menjadi 11 persen, dan kembali naik menjadi 12 persen pada 2025. Kenaikan tersebut termuat dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Pajak atau UU HPP.
Selain itu, tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan meningkat dari 20 persen menjadi 22 persen. Keputusan ini diambil dengan membandingkan rata-rata tarif PPh Badan di negara-negara OECD, Eropa, Amerika Serikat, Inggris, G20, dan Asean.
“Betul, itu cara meningkatkan penerimaan negara, tapi cara yang terakhir menaikkan tarif itu,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, terkait Persiapan Pembahasan RAPBN 2024, Selasa (4/4/2023).
Menurut Hadi, hal pertama yang perlu dilakukan pemerintah dalam mendorong penerimaan negara dari pajak adalah memastikan pertaturan yang selama ini berjalan inkonsisten.
Dia menilai bahwa dengan meluruskan pelaksanaan peraturan yang berjalan inkonsisten, penerimaan negara bersumber dari pajak diyakini dapat meningkat sehingga rasio pajak atau tax ratio Indonesia mampu tumbuh secara konsisten.
Baca Juga
Dalam paparannya, Hadi menyatakan tax ratio Indonesia merupakan yang terendah di Asean dan negara-negara G20. Berdasarkan data OECD, posisi tax ratio Indonesia tercatat di level 9,75 persen pada 2019, lalu turun menjadi 8,33 persen di 2020, dan naik 9,12 persen di 2021.
Posisi tersebut jauh tertinggal dari Amerika Serikat (AS) yang mencatatkan rasio pajak sebesar 25,20 persen pada 2019, lalu tumbuh 25,75 persen pada 2020, dan 26,58 tahun 2021.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara-negara Asean, rasio pajak Indonesia juga tertinggal. Vietnam, misalnya, memiliki rasio pajak 22,7 persen pada 2020. Pada tahun yang sama, Kamboja dan Thailand mencatatkan tax ratio masing-masing 20,2 persen dan 16,5 persen.
“Posisi Tax Ratio Indonesia Terendah di Asean dan G20 karena Bank Data Perpajakan [BDP] belum sempurna terwujud,” kata Hadi.
Sejumlah lembaga seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), hingga Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memang menjadikan rasio pajak sebagai indikator keberhasilan negara dalam memungut penerimaan.
Faktanya, potret ekonomi nasional belum mampu memenuhi konsep tersebut karena adanya perlakuan yang berbeda. Alhasil, penerimaan pajak yang berhasil disetorkan ke negara hanya bersumber dari sektor-sektor yang itu-itu saja, alias fiskus masih berburu di kebun binatang.
Hal ini disebabkan tidak semua angka-angka dalam komponen Produk Domestik Bruto (PDB dapat direalisasikan menjadi penerimaan pajak kendati upaya ekstra telah dilakukan.
“Yang terjadi aggressive tax collection, bahkan untuk wajib pajak tertentu saja,” kata peneliti perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar.
Dia menambahkan bahwa salah satu faktor utama soal kinerja rasio pajak adalah regulasi. Sepanjang aturan yang berlaku membatasi pungutan, maka setoran penerimaan pun terbatas dan kurang elastis terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, pemerintah patut melakukan pembenahan dari sisi regulasi. Semisal, dengan menghapus skema PPh Final untuk sektor-sektor usaha yang sejatinya telah menggeliat tanpa adanya intervensi fiskal.