Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas perdagangan kerap terikat dengan pajak, baik pajak pertambahan nilai atau PPN dalam transaksinya, maupun pajak penghasilan atau PPh bagi penjual. Pengaturan itu turut berlaku bagi perdagangan baju bekas atau dikenal sebagai thrifting.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti menjelaskan bahwa dalam aktivitas thrifting terdapat transaksi antara penjual dan pembeli, serta adanya tambahan keuntungan bagi penjual. Keduanya dapat menjadi objek pajak.
Ewie, panggilan akrabnya, menjelaskan bahwa pengenaan PPN berdasarkan kepada adanya penyerahan barang atau jasa. Dalam aktivitas thrifting, terdapat penyerahan barang berupa pakaian bekas oleh penjual kepada pembeli.
Pakaian bekas tidak tergolong sebagai barang yang tidak dikenai pajak sesuai ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 42/2009 tentang PPN dan UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Artinya, pakaian bekas dapat menjadi objek PPN.
"Sepanjang barang dan jasa yang terkait tidak termasuk dalam pasal 4A UU PPN tentang barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, maka barang dan jasa tersebut merupakan objek PPN," ujar Dwi kepada Bisnis, Jumat (24/3/2023).
Lalu, PPh dikenakan terhadap tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk dan nama apapun, seperti tambahan penghasilan karena perdagangan. Pedagang pakaian bekas atau pelaku thrifting harus membayarkan PPh apabila mendapatkan tambahan penghasilan dari sana.
Meskipun begitu, Dwi menjelaskan bahwa tidak terdapat penggolongan khusus dalam hal perpajakan bagi mereka yang bergelut dalam thrifting. Apabila omset mereka di bawah Rp500 miliar per tahun, mereka dapat tergolong sebagai wajib pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Sehingga apakah para pedagang pakaian bekas tergolong sebagai wajib pajak UMKM, tentunya harus dilihat dari omset tahunan yang didapat, bukan dari jenis usahanya," ujarnya.
Ewie menyebut bahwa pihaknya senantiasa mengingatkan masyarakat, termasuk pelaku thrifting untuk taat membayar pajak tanpa terkecuali. Kesadaran masyarakat dalam membayar pajak pun menjadi aspek penting dalam meningkatkan penerimaan negara.
"Sistem perpajakan di Indonesia menganut self assesment, di mana wajib pajak bertanggung jawab dalam menghitung, memperhitungkan, dan melaporkan kewajiban perpajakannya," katanya.
Baca Juga
*Tulisan ini merupakan bagian dari laporan khusus bertajuk Waswas Barang Bekas yang terbit di harian Bisnis Indonesia edisi Senin (27/3/2023). Baca laporan selengkapnya di epaper.bisnis.com.