Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi Kembali Impor Beras 2 Juta Ton, Kondisi Ini Diduga Jadi Pemicunya

Keputusan impor beras 2 juta ton pada tahun ini diduga karena sejumlah faktor mulai dari sisi harga hingga produksi.
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman
Buruh melakukan bongkar muat karung berisi beras di Gudang Bulog Divre Jawa Barat di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, Senin (30/1/2023). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah kembali menugaskan kepada Perum Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 2 juta ton sampai akhir Desember 2023. 

Izin impor yang dikeluarkan saat panen raya ini diduga lantaran lemahnya penyerapan beras oleh Bulog dan produksi beras Indonesia terus menurun, sementara dalam waktu dekat akan digelar program bantuan sosial beras untuk 21,35 juta keluarga kurang mampu.

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai keputusan impor beras itu dilematis. Di satu sisi, petani tengah menikmati tingginya harga gabah yang biasanya saat panen raya harga tertekan. Tentu ini menguntungkan petani.

Di sisi lain, tingginya harga gabah di pasaran membuat Bulog kesulitan melakukan penyerapan.

“Sampai 24 Maret lalu, penyerapan Bulog baru 48.513 ton beras. Amat kecil,” ujar Khudori, Senin (27/3/2023).

Dia mengatakan, Bulog ditargetkan Bapanas menyerap beras petani domestik sebesar 2,4 juta ton, yang 1,2 juta di antaranya akan menjadi stok akhir tahun. Dari target itu, 70 persen di antaranya diharapkan bisa diserap kala panen raya sampai Mei nanti.

Menurut Khudori, target itu hampir bisa dipastikan sulit dipenuhi. Termasuk target menyerap 70 persen dari 2,4 juta ton beras saat panen raya. Padahal, peluang terbaik bagi pengadaan beras Bulog adalah saat panen raya.

“Kalau penyerapan saat panen raya terlewat atau tidak tercapai, target hampir dipastikan tak tercapai,” katanya.

Menurutnya, pada pekan lalu, cadangan beras pemerintah (CBP) yang ada di gudang Bulog hanya 280.000 ton. Jumlah ini amat kecil, sementara mulai Maret hingga Mei nanti Bulog harus menyalurkan bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,35 juta keluarga kurang mampu. Masing-masing keluarga akan mendapatkan beras 10 kg. Artinya, perlu 630.000 ton.

“Kalau mengandalkan penyerapan/pengadaan dari dalam negeri mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada. Bapanas memang telah menaikkan harga pembelian pemerintah [HPP] untuk gabah kering panen (GKP) di petani jadi Rp5.000/kg dan beras di gudang Bulog Rp9.950/kg, tapi harga gabah dan beras di pasar masih lebih tinggi dari HPP,” tuturnya.

Untuk mengupayakan pengadaan beras, pemerintah pun kemudian meminta komitmen perusahaan penggilingan. Namun, komitmen yang mampu diikat tidak besar, hanya 60.000 ton.

“Cara-cara ini selain tak banyak membantu, boleh jadi juga tidak ramah pasar. Pemerintah mesti membuang jauh cara-cara tak ramah pasar,” ucap Khudori.

Dia mengatakan, bisa saja Bulog menyerap lewat mekanisme komersial. Jika ini ditempuh, boleh jadi CBP akan membaik jumlahnya.

Namun, langkah ini sama saja mendorong Bulog agresif masuk ke pasar dan berkompetisi dengan pelaku usaha lain, baik penggilingan padi maupun pedagang beras, untuk memperebutkan gabah/beras. Langkah itu jelas tidak tepat dan menyalahi khitah keberadaan Bulog.

“Cara ini hanya akan membuat harga tertarik ke atas alias akan semakin tinggi,” ucap nggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020) itu.

Lebih lanjut, merujuk data Badan Pusat Statistik (Kerangka Sampling Area amatan Februari 2023), produksi padi masih terbatas. Menurut BPS, Februari 2023 sudah mulai ada surplus. Produksi pada bulan itu apabila dikurangi kebutuhan konsumsi sekitar 2,53 juta ton beras ada surplus 0,32 juta ton. Lalu, Maret diproyeksikan ada surplus 2,84 juta ton, dan April ada surplus 1,26 juta ton beras.

Menurut Khudori, surplus pada Februari itu masih kecil. Surplus yang kecil ini jadi rebutan pelaku usaha, antara penggilingan padi atau pedagang beras, untuk memastikan pengisian pipa distribusi mereka yang kerontang sejak Oktober tahun lalu.

“Jadi, wajar jika harga masih tinggi, bahkan terus naik. Ketika harga tinggi, mustahil Bulog bisa dapat gabah/beras. Ketika harga gabah/beras tinggi atau di atas HPP, Bulog tidak perlu masuk ke pasar. Kalau memaksa masuk akan berujung salah urus,” tuturnya..

Dia menambahkan, bila merujuk data BPS, sejak 2018 Indonesia memang surplus beras. Namun, volume surplus itu terus turun, dari 4,7 juta ton pada 2018 hanya tinggal 1,34 juta ton pada 2022. Ketika jumlah surplus kian mengecil, soal pengelolaan cadangan dan distribusi jadi isu krusial.

“Ke depan, perlu ada upaya-upaya yang serius untuk menggenjot produksi dan produktivitas. Produksi dari 2018 ke 2022 terus menurun. Produktivitas memang naik, tapi minor. Tahun ini, tantangan produksi diperkirakan jauh lebih sulit ketimbang tahun lalu yang masih mengalami La-Nino. Tahun ini, mulai April akan terjadi El-Nino, yang jika merujuk pengalaman biasanya produksi turun,” ungkap Khudori.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper