Bisnis.com, JAKARTA — Greenpeace Indonesia menegaskan tidak adanya transparansi korporasi raksasa mengenai pasar global dan stok barang menjadi penyebab utama terjadinya spekulasi harga pangan, yang sangat berpengaruh terhadap kerentanan pangan secara global, termasuk bagi Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra menjelaskan bahwa Greenpeace International melakukan riset terkait keuntungan 20 korporasi agribisnis skala global dalam kurun 2020—2022 atau saat terjadi pandemi Covid-19 dan perang Rusia vs Ukraina. Korporasi ternyata meraup keuntungan besar dari sana.
Syahrul menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan itu memiliki kendali yang semakin kuat atas sistem pangan global dan berhasil meraup keuntungan fantastis, terlihat dari total dividen mereka pada 2020 dan 2021 senilai US$53,5 miliar.
Baca Juga
Namun, menurutnya, perusahaan-perusahaan itu tidak memiliki kewajiban terkait transparansi, sehingga menimbulkan persoalan pangan global.
"Perusahaan-perusahaan itu tak punya kewajiban untuk mengungkap apa yang mereka ketahui tentang pasar global, termasuk stok mereka sendiri. Ketiadaan transparansi tentang stok ini—terutama selepas invasi Rusia ke Ukraina—merupakan faktor utama yang memicu spekulasi harga pangan," tulis Syahrul dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat (10/3/2023).
Situasi itu, menurutnya, turut menimbulkan masalah bagi Indonesia karena masifnya intervensi makanan dari luar negeri dan impor bahan pangan. Indonesia tercatat sebagai salah satu importir besar pupuk dari Rusia dan gandum dari Ukraina.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa dalam kurun 2017—2021, volume impor gandum bergerak di kisaran 10,08—11,2 juta ton. Namun, nilai impor yang pada 2017—2020 di kisaran US$2,6 miliar langsung melonjak menjadi US$3,4 miliar pada 2021, akibat tingginya harga pangan global.
Berdasarkan riset Greenpeace, terdapat empat perusahaan besar yang mengontrol 70 persen perdagangan biji-bijian dunia, yakni Archer-Daniels Midland, Cargill, Bunge, dan Dreyfus. Cargill merupakan importir kedelai terbesar di Indonesia—yang menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Cargill dan satu perusahaan lain menguasai 74 persen pasar impor Indonesia.
Syahrul pun menyebut bahwa kerentanan pangan di Indonesia meningkat akibat upaya pengeraman, seperti melalui upaya pemerintah lewat program lumbung pangan atau food estate. Greenpeace menilai bahwa proyek itu justru mengancam sistem budaya pangan lokal yang beragam dan bergizi.
"Pemerintah di level internasional, nasional, dan lokal memiliki peran kunci untuk mengakhiri kontrol dan monopoli korporasi, serta memastikan transparansi demi keadilan pangan," ujar Syahrul.