Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada paparan World Economic Outlook (WEO) di Bulan Oktober tahun lalu memberikan sinyal proyeksi inflasi yang masih menjadi perhatian di 2023. Inflasi Global 2023 diproyeksikan sebesar 6,5%.
Pemicunya adalah dampak perang Ukraina-Rusia, gangguan suplai hingga masih tingginya harga energi. Lantas bagaimana rambatannya ke Indonesia?
Rambatan inflasi yang menjadi perhatian adalah biaya hidup (cost of living) yang harus ditanggung masyarakat, karena kenaikan harga barang dan jasa akan berdampak terhadap pengeluaran rutin. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) Tahun 2022 yang dirilis Bank Indonesia (BI), inflasi sudah mulai meningkat sejak Juni 2022. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tembus 4,35% (YoY) atau meningkat dari bulan sebelumnya 3,55%.
Peningkatan inflasi IHK ini menjadi alarm bersama, karena nilainya sudah melewati sasaran yang ditetapkan pemerintah 3 plus minus 1%. Meningkatnya inflasi IHK pada Juni 2022 sangat dipengaruhi oleh inflasi dari kelompok harga pangan bergejolak (volatile food/VF), di antaranya minyak goreng dan cabai rawit.
Kenaikan angka tersebut dipicu persoalan pola produksi dan kelancaran distribusi. Inflasi kelompok pangan (VF) tercatat sebesar 10,07% di Juni 2022, kemudian merangkak naik dan berada pada level tertingginya sebesar 11,47% pada Juli 2022. Kenaikan inflasi terus berlanjut setelah adanya dampak dari penyesuaian harga BBM (administered price) pada September 2022.
Merespons sinyal peningkatan inflasi tersebut, BI bersama pemerintah tidak tinggal diam. Pasalnya, kenaikan harga-harga pangan, khususnya akibat rambatan dari penyesuaian harga BBM dan persoalan suplai dapat menambah beban bagi masyarakat.
Baca Juga
Menurut Survei Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2022 dari BPS, pengeluaran masyarakat pedesaan di sektor pangan mencapai 57,45%. Sementara rata-rata alokasi pengeluaran masyarakat perkotaan untuk pangan sebesar 46,54%. Artinya, kenaikan harga pangan berdampak signifikan terhadap peningkatan porsi pengeluaran masyarakat.
GNPIP sebagai Obat Inflasi
BI dan pemerintah memperkuat koordinasi Pengendalian Inflasi Pusat & Daerah (TPIP-TPID) untuk merespons kenaikan inflasi. BI juga menginisiasi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) dengan melibatkan pemerintah pusat, daerah hingga kelompok tani.
Koordinasi GNPIP dilaksanakan di seluruh provinsi untuk mengendalikan inflasi dari sisi suplai dan produksi pangan dengan cara mendorong ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, kestabilan harga dan komunikasi yang efektif. Koordinasi tersebut diimplementasikan melalui Perluasan Kerjasama Antar Daerah, komitmen penyelenggaraan operasi pasar daerah rentan gejolak inflasi, serta implementasi gerakan urban farming.
Gerakan urban farming juga bisa menjadi solusi untuk membantu dan menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat perkotaan di tengah keterbatasan lahan pertanian. Apalagi menurut catatan Kementerian Pertanian, lahan pertanian berkurang rata-rata sekitar 100.000 hektare setiap tahunnya karena alih fungsi lahan.
Kembali ke pengendalian inflasi, koordinasi TPIP-TPID hingga GNPIP yang berjalan secara intensif sepanjang 2022 membuahkan hasil. Inflasi IHK pada Desember 2022 tercatat 5,51% (YoY). Angka ini lebih rendah dari prakiraan (consensus forecast 2022), yakni 6,5%. Hal sama juga terjadi pada inflasi harga pangan yang mampu turun dari level tertinggi di angka 11,47% di Juli 2022, menjadi sebesar 5,61% di Desember 2022 (YoY).
OPTIMISME
Pada beberapa kesempatan, Gubernur Bank Indonesia, Perry Wajiyo menyampaikan pesan yang jelas terkait inflasi inti dan IHK. Menurutnya, inflasi inti akan kembali ke sasaran 3 plus minus 1% pada semester I dan inflasi IHK pada semester II/2023.
Dari sisi koordinasi, BI bersama pemerintah terus memperkuat TPIP-TPID dan GNPIP. Koordinasi ini juga dimaksudkan untuk menjaga inflasi dalam menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), khususnya kelompok volatile food yang pada Februari 2023 sebesar 7,62% (YoY), kembali ke sasaran 3,0%—5,0%.
Selain dengan koordinasi TPIP-TPID dan GNPIP, BI melalui kebijakan moneternya secara kumulatif sejak Agustus 2022—Januari 2023, telah menaikkan suku bunga acuan (BI7DRR) 225 basis poin. Instrumen kebijakan moneter lainnya berupa intervensi di pasar valas dan melanjutkan twist operation juga digunakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Pengendalian nilai tukar dipandang penting untuk membatasi pengaruh imported inflation atau inflasi yang bersumber dari perubahan harga produk impor yang meningkat karena melemahnya mata uang.
Jurus stabilisasi nilai tukar terbukti ampuh. Menurut data per 15 Februari 2023, Rupiah tercatat mengalami apresiasi atau penguatan 2,39% dibandingkan posisi akhir 2022. Dengan terjaganya nilai tukar melalui kebijakan moneter serta penguatan koordinasi TPIP-TPID dan GNPIP, inflasi inti dan IHK diproyeksikan bisa kembali ke sasaran sesuai waktu yang ditetapkan.