Bisnis.com, JAKARTA – Tren kenaikan suku bunga acuan di tingkat global masih belum berakhir. Suku bunga the Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS), khususnya diperkirakan masih berpotensi meningkat hingga mencapai 6 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, berdasarkan bacaan terakhir BI, suku bunga the Fed diperkirakan berpotensi meningkat ke level 5,25 persen dan tetap bertahan hingga akhir tahun.
Perry mengatakan, kenaikan suku bunga the Fed atau Fed Funds Rate (FFR) tidak akan berdampak langsung pada ekonomi di dalam negeri maupun nilai tukar rupiah. Dampaknya secara langsung akan terlihat pada perbedaan tingkat SBN dan US Treasury.
“Fed Funds Rate tidak berdampak langsung ke ekonom Indonesia dan nilai tukar rupiah, lebih berpengaruh ke yield SBN, bukan rate differential,” katanya, Selasa (28/2/2023).
Dalam hal ini, Perry mengatakan bahwa BI bersama dengan pemerintah tetap berupaya menjaga yield differential agar tingkat imbal hasil SBN tetap menarik. Hal ini tercermin dari aliran modal asing yang masuk ke pasar SBN sebesar Rp45,3 triliun sepanjang 2023.
Sementara itu, imbuhnya, stabilitas nilai tukar rupiah juga tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor fundamental.
“Kami tidak segan-segan stabilkan rupiah dan di masa tekanan yang meningkat ini kami lakukan intervensi,” jelasnya.
Selain itu, Perry menambahkan, BI juga akan mulai mengimplementasikan operasi moneter baru, yaitu term deposit valas Devisa Hasil Ekspor (DHE), instrumen penempatan DHE untuk eksportir.
BI akan memberikan insentif tingkat suku bunga yang lebih kompetitif bagi eksportir, juga memberikan agent fee kepada perbankan yang dapat meneruskan DHE eksportir kepada BI. Implementasi instrumen tersebut diharapkan dapat mendukung stabilitas rupiah dan perekonomian.