Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bakal memperluas penerapan perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap di luar jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Pada tahap pertama perdagangan karbon tahun ini, Kementerian ESDM melibatkan 99 PLTU yang terhubung dengan jaringan listrik PLN dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Adapun, 99 PLTU dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW itu berasal dari 42 perusahaan. Perinciannya, 55 unit PLTU milik Grup PLN dan sisanya milik independent power producer (IPP).
“Ke depannya, secara bertahap perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik pada fase dua, tiga akan diterapkan pada PLTU yang tidak terhubung jaringan PLN tapi di luar wilayah usaha PLN, untuk kepentingan sendiri,” kata Arifin saat membuka peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Arifin menuturkan, skema perdagangan karbon belakangan cukup menarik untuk dikembangkan sebagai alternatif pengurangan emisi serta penghimpunan dana untuk pembiayaan inisiatif energi baru terbarukan (EBT).
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 2022 lalu, pendapatan global dari penerapan nilai ekonomi karbon atau carbon pricing mencapai US$84 miliar atau naik 60 persen dari torehan sepanjang 2021.
Baca Juga
“Meningkatkan pendapatan carbon pricing dapat mendukung ekonomi yang berkelanjutan, membiayai reformasi fiskal atau membantu pemerintah menyangga gejolak ekonomi,” kata Arifin.
Nilai transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik tahap satu pada tahun ini diperkirakan dapat menembus US$9 juta atau setara dengan Rp136,8 miliar (asumsi kurs Rp15.209 per US$).
Estimasi nilai transaksi itu berasal dari alokasi kuota emisi yang berpotensi diperdagangkan secara langsung antarperusahaan pembangkit sebesar 500.000 ton CO2e tahun ini. Potensi sisa kuota karbon yang diperdagangkan itu diperoleh dari rekapitulasi emisi sepanjang tahun lalu sebesar 20 juta ton CO2e.
Saat itu, PLTU yang menghasilkan emisi di bawah persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha (PTBAE-PU) mencapai di level 9,7 juta ton CO2e. Realisasi emisi di bawah PTBAE-PU itu kemudian diidentifikasi sebagai surplus emisi.
Di sisi lain, PLTU yang menghasilkan emisi di atas PTBAE-PU mencapai di level 10,2 juta ton CO2e. Realisasi emisi yang melebihi PTBA-PU itu belakangan dikategorikan sebagai defisit emisi.
Potensi kuota karbon yang dapat diperdagangkan secara langsung dihitung dari defisit emisi dikurangi dengan surplus emisi sepanjang tahun sebelumnya. Dengan demikian, hasil pengurangan neraca karbon itu mengalokasikan kuota untuk diperdagangkan tahun ini sebesar 500.000 ton.
Sementara itu, Kementerian ESDM memproyeksikan harga kredit karbon dari setiap emisi itu berada di rentang US$2 per ton CO2e sampai dengan US$18 per ton CO2e.
“ESDM tidak mengeluarkan harga tapi itu hanya kajian dari kita-kita bahwa US$2 per ton sampai US$18 per ton itu berdasarkan spesifikasi dari pembangkit-pembangkit masing-masing,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Priharto Dwinugroho saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Priharto mengatakan, rentang harga itu relatif dapat menjaga keekonomian pembangkit di tengah upaya pemerintah untuk menerapkan perdagangan karbon tahun ini.
“Harga saat ini secara keekonomian itulah yang paling make sense di kita,” kata dia.
Kementerian ESDM menetapkan PTBAE paling ketat di angka 0,911 ton CO2e untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang di atas 400 MW.
Selain itu, Kementerian ESDM menetapkan PTBAE untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang di rentang 100 MW sampai sama dengan 400 MW diputuskan sebesar 1,011 ton CO2e per MWh.
Sementara itu, PTBAE untuk PLTU mulut tambang di atas 100 MW diputuskan mencapai 1,089 CO2e per MWh. Di sisi lain, kuota emisi untuk PLTU non mulut tambang dan yang berada di mulut tambang dengan kapasitas terpasang 25 MW sampai sama dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e per MWh.
United Nations Development Program (UNDP) Resident Representative Norimasa Shimomura menyatakan dukungan terhadap pelaksanaan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik tersebut.
"Indonesia mengambil langkah pertama untuk menggunakan perdagangan karbon sebagai instrumen di sektor energi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari PLTU serta menawarkan insentif karbon untuk investasi energi terbarukan,” kata Norimasa.