Bisnis.com, JAKARTA — Sebagian besar pelaku usaha pembangkit listrik melihat peluang bisnis yang prospektif menyusul perdagangan karbon subsektor pembangkit yang mulai dilakukan pada tahun ini.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI), Arthur Simatupang, mengatakan komitmen perusahaan pembangkit listrik untuk menekan emisi berpeluang untuk jadi sumber pemasukan baru di dalam skema perdagangan karbon.
“Itu bisa jadi kesempatan karena usaha-usaha menurunkan emisi itu sesuai dengan target dekarbonisasi malah mempunyai nilai yang jelas sekarang ada nilai tambahnya, bisa dimonetisasi,” kata Arthur saat ditemui di Kementerian ESDM, Rabu (22/2/2023).
Lewat penetapan kuota emisi, Arthur mengatakan, pelaku usaha memiliki gambaran yang lebih konkret soal batasan atas gas buang yang mesti diperhitungkan untuk menentukan perdagangan kredit karbon nantinya.
Di sisi lain, dia menuturkan, pelaku usaha bakal berupaya untuk menurunkan tingkatan emisi pembangkit mereka melalui skema perdagangan karbon.
Seperti diketahui, pembangkit yang mencatatkan tingkat emisi yang lebih rendah dari batas atas gas buang memiliki akses untuk menjual kredit karbon mereka kepada pembangkit yang mencatatkan emisi di atas kuota yang ditetapkan.
“Dari batas atas itu ketahuan emisi aktual dari masing-masing pembangkit, mana yang surplus mana yang defisit di mana sekarang dimungkinkan terjadi perdagangan karbonnya,” tuturnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Priyandaru Effendi, menilai positif komitmen pemerintah untuk menerapkan perdagangan karbon pada tahun ini.
Priyandaru menilai perdagangan karbon dapat memperbaiki tingkat keekonomian dari sejumlah proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang terbilang berisiko di dalam negeri saat ini.
“Mudah-mudahan harganya sangat menarik untuk memperbaiki tingkat keekonomian proyek PLTP,” kata Priyandaru saat dihubungi, Rabu (22/2/2023).
Priyandaru mengatakan asosiasinya bakal berupaya untuk mengoptimalkan peluang monetisasi kredit karbon dari perdagangan emisi tersebut.
Dia berharap perdagangan karbon dapat meningkatkan investasi yang intensif untuk pembangkit berbasis energi baru terbarukan mendatang.
“Kami akan memanfaatkan monetisasi peluang perdagangan karbon dengan optimal, harga kredit karbon US$18 per ton CO2e saat ini sangat menarik,” ujarnya.
Pada tahap pertama perdagangan karbon tahun ini, ESDM melibatkan 99 PLTU yang terhubung dengan jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Seperti diketahui, 99 PLTU dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW itu berasal dari 42 perusahaan. Perinciannya 55 unit PLTU milik Grup PLN dan sisanya milik independent power producer (IPP).
“Ke depannya, secara bertahap perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik pada fase dua, tiga akan diterapkan pada PLTU yang tidak terhubung jaringan PLN tapi di luar wilayah usaha PLN, untuk kepentingan sendiri,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat membuka peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Nilai transaksi perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik tahap satu tahun ini diperkirakan dapat menembus di angka US$9 juta atau setara dengan Rp136,8 miliar, asumsi kurs Rp15.209 per dolar AS>
Estimasi nilai transaksi itu berasal dari alokasi kuota emisi yang berpotensi diperdagangkan secara langsung antar perusahaan pembangkit sebesar 500.000 ton CO2e tahun ini.
Potensi sisa kuota karbon yang diperdagangkan itu diperoleh dari rekapitulasi emisi sepanjang tahun lalu sebesar 20 juta ton CO2e.
Saat itu, PLTU yang menghasilkan emisi di bawah persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca pelaku usaha (PTBAE-PU) mencapai di level 9,7 juta ton CO2e. Realisasi emisi di bawah PTBAE-PU itu kemudian diidentifikasi sebagai surplus emisi.
Di sisi lain, PLTU yang menghasilkan emisi di atas PTBAE-PU mencapai di level 10,2 juta ton CO2e. Realisasi emisi yang melebihi PTBA-PU itu belakangan dikategorikan sebagai defisit emisi.
Potensi kuota karbon yang dapat diperdagangkan secara langsung dihitung dari defisit emisi dikurangi dengan surplus emisi sepanjang tahun sebelumnya. Dengan demikian, hasil pengurangan neraca karbon itu mengalokasikan kuota untuk diperdagangkan tahun ini sebesar 500.000 ton.
Sementara itu, Kementerian ESDM memproyeksikan harga kredit karbon dari setiap emisi itu berada di rentang US$2 per ton CO2e sampai dengan US$18 per ton CO2e.