Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) tengah menghitung mundur terbitnya aturan baru terkait kenaikan harga rumah subsidi sebesar 5 persen yang disebut akan terbit Februari 2023.
Sekretaris Jenderal DPP Apersi, Daniel Djumali, mengatakan penyesuaian harga rumah subsidi sebesar 5 persen belum memadai. Pasalnya, pengembang sebelumnya mengusulkan kenaikan rumah subsidi sebesar 7 persen.
Namun, karena batasan harga rumah subsidi tak kunjung disesuaikan selama 3 tahun, pihaknya akan menerima untuk saat ini.
Padahal selama 3 tahun tersebut, pengembang mulai kelimpungan dengan kenaikan harga bahan material bangunan, harga bahan bakar minyak (BBM) yang memicu peningkatan ongkos produksi.
"Pengembang yang menggunakan kredit perbankan akan terpaksa terus membangun, guna pemenuhan cashflow buat membayar salary [gaji], kontraktor, angsuran serta bunga bank," kata Daniel kepada Bisnis, dikutip Senin (20/2/2023).
Dalam hal ini, kenaikan 5 persen pun disebut dapat membantu memulihkan kondisi cashflow para pengembang rumah subsidi yang tengah tertekan.
Namun, jika pengembang merasa tidak cocok dengan penyesuaian harga yang bakal dilakukan, maka tak ada pilihan selain mengalihkan status rumah subsidi ke rumah komersial agar dapat menyesuaikan dengan ongkos produksi.
"Bagi pengembang yang tidak cocok, terpaksa naik ke rumah komersial, agar bisa terus menyesuaikan cashflow-nya," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kenaikan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) kelompok bangunan atau konstruksi sebesar 0,37 persen (month-to-month) pada Desember 2022.
Perubahan indeks tersebut terjadi dari level 116,74 pada November 2022 menjadi 117,17 pada Desember 2022. Semua kelompok jenis bangunan mengalami kenaikan dibandingkan dengan Desember 2021 yakni sebesar 6,87 persen year-to-date (ytd).
Adapun, kelompok bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal mengalami kenaikan 4,28 persen secara tahunan. Sementara itu, komoditas yang mengalami kenaikan harga dari tahun ke tahun yaitu solar sebesar 37,80 persen dengan andil terhadap inflasi harga perdagangan besar sebanyak 1,83 persen.
Di sisi lain, semen mengalami kenaikan 8,52 persen dan memberikan andil kepada inflasi sebesar 1,16 persen, aspal naik 15,37 persen dan memberikan andil sebesar 1,03 persen.
Lebih lanjut, Daniel mencontohkan, jika penyesuian dipatok 5 persen, maka batasan rumah subsidi di pulau Jawa (di luar Jabodetabek) yakni Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dari semula Rp150,5 juta menjadi Rp157,7 juta.
"Naiknya harga batasan rumah subsidi dikisaran 5 persen untuk periode tahun 2023-3024 ini, cukup menjadi pelipur-lara bagi pengembang rumah subsidi, asalkan PMK nya bisa keluar segera dalam waktu singkat," tandasnya.
Sebagai informasi, batasan harga rumah subsidi yang saat ini berlaku mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No. 242/KPTS/M/2020 pada Maret 2020.
Sementara, untuk dapat mengeluarkan keputusan harga rumah baru, Kementerian PUPR masih menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, mengatakan pihaknya mendapatkan kabar bahwa aturan terkait penyesuaian harga rumah subsidi telah selesai dibahas di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, pihaknya masih menunggu kepastian terkait penerbitan aturan tersebut.
"Masih di [Kementerian] keuangan, katanya pembahasannya sudah, tapi masih di sana. Katanya sih bulan Februari ini cuma ini masih terus dikejar ya," kata Herry, beberapa waktu lalu.