Bisnis, JAKARTA — Seperti halnya Presiden SBY, Presiden Jokowi memimpin Indonesia selama dua periode. Keduanya memiliki jejak dan gaya berbeda, termasuk di bidang ekonomi dan politik luar negeri. Apakah keduanya mengalami fase bebek lumpuh atau lame duck sebelum mengakhiri masa kekuasan?
Berita tentang perbandingan era kepemimpinan Jokowi dan SBY menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.
Berikut ini highlight Bisnisindonesia.id, Sabtu (11/2/2023):
1. Perbandingan Jejak Ekonomi dan Politik Luar Negeri Jokowi – SBY
Dari sisi ekonomi, SBY dan Jokowi memulai pemerintahan saat pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5 persen. Keduanya juga mengalami gangguan saat berupaya mewujudkan target pertumbuhan ekonominya.
Pemerintahan SBY harus menghadapi gangguan ekonomi karena dampak krisis ekonomi di Amerika Serikat. Sementara di era Jokowi, wabah Covid-19 dan dampak invasi Rusia ke Ukraina menjadi dua hal yang harus dihadapi.
Presiden Jokowi mencatatkan capaian pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2022. Setelah 9 tahun memimpin Indonesia, pertumbuhan nasional mencapai 5,31 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Di masa pemerintahan SBY, data menunjukkan bahwa Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 6,5 persen pada 2011.
Pertumbuhan ekonomi tertinggi di era Jokowi maupun SBY sama-sama terjadi pada periode kedua masa kepemimpinan mereka.
Presiden Jokowi saat menerima kunjungan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY di Istana, Kamis, 10 Oktober 2019./BPMI Setpres-Rusman
2. Profitabilitas Terus Memburuk, UNVR Belum Hilang Asa
Rangkaian strategi bisnis yang dijalankan oleh PT Unilever Indonesia Tbk. sepanjang 2022 lalu belum cukup untuk menghantarkan bisnis perseroan menuju pertumbuhan kinerja yang dicita-citakan. Alih-alih bertumbuh, laba perusahaan justru menyentuh rekor terendah dalam satu dekade.
Meski demikian, manajemen perseroan meyakini bahwa langkah-langkah bisnis yang sudah ditempuh sepanjang 2022 lalu memberikan fondasi yang lebih solid bagi perseroan untuk dapat memacu kinerjanya lebih baik di masa mendatang.
UNVR hanya membukukan laba sebesar Rp5,36 triliun sepanjang 2022. Meski cukup tinggi, ini bukanlah kinerja terbaik yang pernah dicapai perseroan. Capaian tersebut justru turun 6,83 persen secara tahunan atau year-on-year (YoY).
Capaian laba tersebut pun menjadi yang terendah dalam satu dekade terakhir. Penurunan ini justru kontras dibandingkan dengan pendapatannya, sebab penjualan UNVR masih bertumbuh positif 4,2 persen YoY menjadi Rp41,2 triliun.
3. Adu Panjat TLKM vs EXCL Kebut Ekspansi Infrastruktur
Sejumlah emiten telekomunikasi menganggarkan dana belanja modal atau capital expenditure atau capex pada 2023 untuk pengembangan infrastruktur. Dalam hal ini adaah PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dan PT XL Axiata Tbk. (EXCL).
Outlook capex Telkom pada 2023 diproyeksikan berkisar 25 persen dari total pendapatan TLKM. Anggaran belanja tersebut akan dialokasikan untuk pengembangan mobile, fixed broadband, maupun bisnis lain seperti data center, tower, dan sebagainya. Sumber pendanaan capex ini akan berasal dari internal maupun eksternal Telkom.
Sementara itu, XL Axiata menyampaikan akan mengalokasikan belanja modal untuk mendukung perluasan dan pengembangan infrastruktur jaringan sebagai salah satu fokus pertumbuhan EXCL. Namun, perseroan belum bisa menyampaikan nilai capex tahun ini.
Serapan capex EXCL pada 2022 mayoritas telah digunakan untuk mendukung pengembangan jaringan. Sebagaimana diketahui, XL Axiata menganggarkan belanja modal sebesar Rp9 triliun pada 2022.
4. Konsekuensi Larangan Ekspor Emas pada Emiten Logam Mulia
Pengembangan basis pelanggan di dalam negeri mau tidak mau menjadi pilihan bagi emiten produsen atau penambang emas, setelah pemerintah berencana untuk melarang ekspor logam mulia tersebut guna memacu pengembangan industri hilir.
Pemerintah menginginkan nilai tambah lebih besar dengan rencana moratorium ekspor emas yang direncanakan pada tahun ini. Pemerintah tengah mempelajari sejumlah skenario untuk menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dari industrialisasi emas di dalam negeri. Rencana industrialisasi emas itu bakal dilakukan bertahap.
Rencana kebijakan pemerintah ini pun bakal menjadi tantangan bagi emiten yang bergerak di lini produsen emas ini. Bagaimanapun, kebijakan ini dapat berisiko pada turunnya pendapatan dari sisi ekspor produk mentah. Dalam hal ini, emiten penambang lebih berisiko.
Meski begitu, sebagai BUMN, PT Aneka Tambang Tbk. tampaknya tak banyak protes. Alih-alih pesimistis memandang prospek penjualan emas tahun ini, perseroan justru tetap mematok target penjualan lebih tinggi dibanding tahun lalu.
5. Cukai Minuman Berpemanis Masih Belum Terasa “Gulanya”
Mulai tahun ini mestinya pemerintah mendapat pemasukan tambahan dari cukai minuman berpemanis. Bersama Badan Anggaran DPR, Pemerintah telah menyepakati target penerimaan kepabeanan dan cukai 2023 sebesar Rp303,19 miliar. Di dalamnya termasuk potensi pemasukan dari cukai minuman berpemanis.
Rencana itu menunjukkan bahwa Pemerintah dan DPR sepakat untuk menginjak gas cukup demi meningkatkan penerimaan negara lewat cukai dan kepabeanan pada 2023. Hal itu terlihat dari kesepakatan Banggar dan Pemerintah yang menyepakati angka Rp303,19 miliar. Jumlah tersebut menunjukkan kenaikan Rp1,4 triliun dari usulan pemerintah dalam dokumen awal RAPBN 2023 yang “hanya” sebesar Rp301,79 triliun.
Namun, rencana untuk menginjak gas lebih dalam belum juga terlaksana. Sementara itu, menjelang Maret 2023 pemerintah sudah harus bersiap mengatasi potensi kenaikan inflasi di bulan ramadan. Bisa jadi, faktor inflasi musiman selama Ramadan menjadi prioritas untuk diantisipasi. Dengan begitu, pemerintah tidak ingin “menambah kepusingan” harus menghadapi dampak inflasi akibat penerapan pajam minuman berpemanis.
Padahal, selain berencana menginjak gas cukup dalam, pemerintah berancang-ancang mempeluas wilayah jelajah cukai.