Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini meminta komunikasi publik antar stakeholder di pemerintah harus terbangun dengan baik, khususnya terkait dengan data stok beras.
Dari hasil pantauannya, terdapat perbedaan informasi yang disampaikan, baik yang berasal dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) maupun dari Kementerian Pertanian (Kementan).
"Data [yang disampaikan] Bapanas menyatakan bahwa [persediaan] beras kita minus dalam waktu enam bulan ke depan. Enam bulan ini kita akan minus, sedangkan data yang disampaikan Kementan berdasarkan BPS, [persediaan beras] kita sudah surplus. Ini yang perlu kita gali lebih banyak, dan kita tadi lihat di lapangan benar memang tidak ada barangnya,” ujar Anggia dikutip Sabtu (4/2/2023).
Tim Komisi IV DPR RI melakukan kunjungan spesifik ke Jombang, Jawa Timur dalam rangka melihat langsung ketersediaan beras di dua pabrik penggilingan padi di Jombang, baik yang berkapasitas produksi kecil maupun besar.
Penggilingan padi yang dikelola oleh Gapoktan Pojok Kulon memiliki kapasitas produksi gabah kering yang lebih kecil, yaitu hanya 15.000 ton per hari. Adapun, kapasitas produksi PT SMK memiliki kapasitas produksi yang lebih besar, yaitu mencapai 350.000 ton per hari dengan mendatangkan gabah dari daerah lain.
"Yang harus dilihat apakah benar tidak ada berasnya? baik itu di petani, di lumbung, di penggilingan, atau di manapun penyimpanannya atau memang sengaja disembunyikan atau bagaimana. Yang jelas, saat kita tadi di penggilingan, tidak ketemu yang namanya beras atau beras. Ini yang menjadi concern kita,” urai Politisi Fraksi PKB itu.
Baca Juga
Oleh karena itu, dia menjelaskan, jika kedua data yang berasal dua institusi itu sama-sama memiliki kebenaran maka perlu dibangun komunikasi yang lebih baik. Sebab, tegasnya, beras ini masalah krusial yang harus ditangani, apalagi sekarang ini di tengah-tengah isu global krisis pangan.
“Isu ini harus kita tangani dengan baik. Kalau datanya salah, penyikapannya juga salah, nanti intevensinya salah, jangan-jangan nanti kita kekurangan pangan,” khawatirnya.
Menanggapi itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi menerangkan acuan data yang digunakan institusinya adalah data yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurutnya, hal itu sebagaimana amanat dari Undang-Undang. Dia berharap tiap pihak tidak salah dalam menafsirkan data yang disajikan dari BPS tersebut.
"Mudah-mudahan dengan ini tidak salah membaca data. Kami semuanya di Kementan gunakan satu data, BPS. Apakah kementerian mengumpulkan data? Kami pakai satelit internal tapi tidak dirilis. Ada data bulanan dari daerah? Ada. Tapi kami tidak rilis itu. Yang kami pakai adalah data BPS,” ujar Suwandi.
Di sisi lain, dia turut menerangkan perbedaan pengertian mengenai surplus-defisit dengan stok. Kalau surplus-defisit adalah selisih produksi dikurangi konsumsi.
Oleh karena itu, menurutnya, jangan dicampur soal surplus-defisit itu dengan stok. Stok itu barang statis, kalau surplus-defisit ini bersifat dinamis.
“Stok itu ada di mana-mana, ada di Bulog, rumah tangga, di penggilingan, dana sebagainya butuh survei dari BPS juga. Surplus defisit beda, stok juga beda,” jelasnya.