Bisnis.com, JAKARTA – Filipina mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Asia pada kuartal IV/2022 setelah berhasil mengatasi tekanan harga dan kenaikan suku bunga.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (26/1/2023), Otoritas Statistik Filipina melaporkan produk domestik bruto (PDB) tumbuh 7,2 persen pada kuartal IV/2022 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Angka ini berada di atas proyeksi analis sebesar 6,6 persen dalam survei Bloomberg, sekaligus merupakan yang terkuat sejak tahun 1976.
Sementara itu, PDB juga 2,4 persen dibandingkan dengan kuartal III/2022, di atas proyeksi analis sebesar 1,3 persen.
Kepala Otoritas Statistik Filipina Dennis Mapa mengatakan PDB Filipina mengalami ekspansi 7,6 persen sepanjang tahun 2022, melampaui median survei sebesar 7,4 persen dan mencatatkan kinerja tahunan terbaik sejak 1976.
Dipicu oleh permintaan yang terpendam yang bertahan dari lonjakan inflasi paling tajam sejak 2008 dan pengetatan moneter paling agresif dalam dua dekade terakhir, Filipina masih mencatat kinerja terbaik di Asia.
Baca Juga
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengatakan dalam sebuah wawancara awal bulan ini bahwa ekonomi diperkirakan tumbuh sekitar 7 persen pada tahun 2023.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Filipina Arsenio Balisacan mengatakan pemulihan kondisi pasar tenaga kerja, peningkatan pariwisata, lonjakan belanja liburan, dan dimulainya kembali kelas tatap muka mendukung pertumbuhan di kuartal ini,
“Kondisi ini mencerminkan rebound yang solid dalam kepercayaan konsumen dan investor terhadap perekonomian," kata Arsenio
Arsenio mengatakan, meskipun pertumbuhan konsumsi swasta tahunan melambat, pertumbuhan masih kuat di 7 persen pada kuartal IV/2022. Pemerintah yakin bahwa pertumbuhan ekonomi yang signifikan ini dapat dipertahankan, salah satunya didorong oleh pembukaan kembali China.
Meskipun begitu, Filipina tidak akan sepenuhnya kebal terhadap perlambatan global. Gareth Leather dari Capital Economics Ltd memperkirakan 2023 akan menjadi tahun yang sulit bagi negara ini.
“Lonjakan inflasi dan pengaturan moneter yang lebih ketat dapat membebani pengeluaran,” ungkapnya.