Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan para pekerja atau buruh akan mempertimbangkan menerima isi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja, asalkan permintaan buruh yang belum terpenuhi nantinya akan tertuang di Peraturan Pemerintah (PP).
“Kami berharap pasal-pasal yang masih memungkinkan masuk dalam PP, asal dijamin, yang merugikan buruh di Perppu ini atau belum setuju, dapat dituangkan di PP, lalu kami akan pertimbangkan,” ujarnya dalam Konferensi Pers secara virtual, Minggu (1/1/2023).
Pada dasarnya, KSPI menolak isi dari Perppu yang merupakan revisi dari UU Omnibus Law Cipta kerja tersebut, karena tidak ada perubahan yang signifikan, terutama terhadap permintaan buruh.
Salah satu pasal yang ditolak oleh buruh adalah tentang upah minimum. Di dalam Perppu, upah minimum kabupaten/kota digunakan istilah dapat ditetapkan oleh Gubernur, dan tidak berbeda dengan UU Cipta Kerja. Bahasa hukum “dapat”, berarti bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur. Adapun, usulan buruh, Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Hal lain, di dalam UU Cipta Kerja, upah minimum kenaikannya berdasarkan inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Menggunakan bahasa “atau”, dipilih salah satunya. Sedangkan di UU 13/2003 didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak dan turunannya PP 78/2015 menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Menggunakan kata “dan”, jadi akumulasi dari keduanya.
Sementara di dalam Perppu berdasarkan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Hal itulah yang ditolak buruh. Sebab, dalam hukum ketenagakerjaan tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.
“Kami menduga indeks tertentu seperti di dalam Permenaker 18/2022, menggunakan indeks 0,1 sampai 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” kata Iqbal.
Adapun 9 poin usulan KSPI adalah:
1. a. Penetapan upah minimum (UM) menggunakan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi
b. Pengubahan redaksi pada Pasal 88 (C) ayat (2) menjadi Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota
c. Harus ada upah minimum sektoral
d. Formulasi upah minimum tidak boleh berubah-ubah
2. Alih daya/outsourcing diperbolehkan dengan 5 jenis pekerjaan saja
3. Ketentuan pesangon kembali ke UU No.13/2003
4. Adanya periode untuk pekerja kontrak (PKWT) sesuai UU No.13/2003
5. Pemutusan hubungan kerja (PHK) harus ada persetujuan dari Ditjen PHI Kemenaker
6. Tenaga kerja asing (TKA) unskilled atau buruh kasar tidak boleh bekerja
7. Menolak sanksi pidana dalam Perppu, Kembali ke UU No.13/2003
8. Pengaturan jam kerja Kembali ke UU No.13/2003
9. Adanya aturan cuti panjang
Dengan demikian, kata Iqbal, bila 9 permintaan buruh tersebut dapat dijamin akan diatur dalam PP, nantinya, buruh akan mempertimbangkan menerima Perppu tersebut.
Terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menyampaikan ketentuan formulasi upah minimum dalam Pasal 88D ayat (2) menjadi was-was karena bisa saja besaran upah naik atau justru turun bila nantinya diubah.
“Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam,” bunyi beleid tersebut.
Menurutnya, adanya aturan tambahanya bahwa pemerintah dapat menetapkan kenaikan upah minimum berbeda dari formulasi/variabel tersebut jika dalam keadaan tertentu.
“Ketentuan ini memberikan ruang kemungkinan kenaikan upah bisa lebih baik dari formulasi tersebut diatas tapi juga bisa sebaliknya,” jelasnya, Minggu (1/1/2023).
Senada dengan Said Iqbal, Ristadi melihat substansi klaster ketenagakerjaan banyak yang masih bersifat umum, perlu diatur lebih lanjut dalam PP, seperti halnya PP No.78/2015 yang merupakan turunan dari UU No.13/2003.