Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekspor Sawit Melempem, Pengusaha Salahkan Pemerintah

Gabung Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan dalam periode 2020-2022 ekspor justru menurun rata-rata 7,66 persen.
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Antara/Makna Zaezar
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Antara/Makna Zaezar

Bisnis.com, JAKARTA- Ekspor dan produksi minyak sawit Indonesia disebut mengalami tren penurunan dalam beberapa waktu belakangan. Hal ini dinilai merupakan imbas dari inkonsistensi kebijakan pemerintah.

Gabung Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melaporkan dalam periode 2020-2022 ekspor justru menurun rata-rata 7,66 persen.

Ketua Bidang Luar Negeri Gapki Fadhil Hasan mengungkapkan penurunan tak hanya terjadi pada ekspor minyak sawit, namun juga produksi minyak sawit. Dia mengatakan produksi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tren penurunan demikian juga dengan ekspor. Menurutnya, kebijakan pemerintah memberikan andil dalam penurunan tersebut.

"Tahun 2022 produksi diperkirakan turun dibanding 2021 juga dengan ekspor. Ini terkait dengan adanya inkonsistensi kebijakan, terkait dengan pelarangan misalnya sangat berpengaruh pada performance 2022," ujar dia dalam webinar bertajuk "Optimalisasi Ekspor Sawit Sebagai Antisipasi Dampak Resesi", Rabu (14/12/2022).

Dia membeberkan sebenarnya permintaan minyak sawit Indonesia periode 2005-2015 stabil sekitar 11 persen. Kemudian pada periode 2016-2020 turun menjadi 8 persen dan dua tahun ini yakni 2020-2022 justru tumbuh negatif -2,54 persen.

Menurut dia, untuk konsumsi dalam negeri mengalami peningkatan karena adanya program biofuel.

Konsumsi minyak sawit dalam negeri tumbuh 11,7 persen pada periode 2005-2010. Kemudian pada periode 2010-2015 sempat turun menjadi 9,25 persen dan naik lagi sebesar 18 persen pada 2015-2020. Untuk periode 2020-2022 ini konsumsi dalam negeri turun 7,5 persen.

"Konsumsi ada peningkatan karena ada program mandatori biofuel. Tapi untuk ekspor trennya menurun," kata Fadhil.

Selain itu pertumbuhan ekspor dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peran penurunan juga disebabkan karena pandemi Covid-19. Pada semester 1 Tahun 2022 ekspor mengalami destruksi dan turun tajam akibat kebijakan restriksi dan larangan ekspor. Selain itu juga penurunan daya saing dengan minyak nabati lainnya turut memberikan andil.

Fadhil menjelaskan, pada dasarnya permintaan terhadap minyak sawit memiliki prospek yang masih baik. Di mana pertumbuhan konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi. Hanya saja masalah yang ditemui ialah produksi dalam negeri yang sedang mengalami tren penurunan.

Adanya perang Rusia-Ukraina membuat terjadinya kekurangan pasokan minyak nabati dunia. Pasalnya dua negara ini menjadi penghasil utama minyak rapeseed dan bunga matahari. Kondisi ini memberikan peluang kepada minyak sawit untuk mengambil pasar yang kekurangan tersebut.

"Ini kesempatan bagi kita untuk kita mengisi kekurangan tersebut. Tapi persoalannya lagi-lagi apakah kita memiliki kemampuan untuk bisa merespon tersebut, karena kita juga mengalami tren menurun dalam hal produksi," kata Fadhil.

Dia menambahkan pada 2023 produksi dan  ekspor minyak sawit akan melemah akibat resesi ekonomi dunia. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang kondusif dalam mendorong ekspor sawit.

"Penting bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih kondusif untuk mendorong ekspor di tengah ancaman resesi ekonomi. Terutama yang ingin saya highlight itu adalah kebijakan DMO [Domestic Market Obligation]. Apakah kita masih membutuhkan, di tengah harga minyak goreng di dalam negeri cenderung stabil," kata Fadhil.

Senada, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung juga meperkirakan produksi minyak sawit anjlok serentak sekitar bulan Februari sampai dengan Agustus 2023. Pasalnya, dengan kenaikan harga pupuk saat ini, petani akan mengurangi pemupukan, akibatnya kesuburan pun berkurang.

“Sumbangan CPO petani berdasarkan database DPP Apkasindo [2021], tercatat 26 persen [12.394.582 ton] dari total produksi CPO Indonesia tahun 2021 [47,79 juta ton]. Dengan kondisi 70 persen petani sawit tidak memupuk, maka saya memperkirakan akan terjadi penurunan produksi CPO petani 5-11 persen ditahun 2023,” ujar Gulat.

Jika tidak diatasi dengan segera, bukan tidak mungkin produksi TBS pekebun bisa anjlok sampai 50 persen di tahun 2023 dan hal ini berdampak kepada produksi CPO secara nasional.

“Tentu menurunnya secara nasional produksi CPO Indonesia akan memicu kenaikan harga CPO dunia karena ketersediaan CPO berkurang dari Indonesia, apalagi ditengah krisis energi yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2022,” ujar Gulat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Indra Gunawan
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper