Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif berharap pemerintah Amerika Serikat mencabut blokade appellate body seiring dengan rencana banding atas keputusan panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang belakangan menyatakan Indonesia melanggar ketentuan perdagangan internasional terkait dengan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel domestik.
“WTO itu kan sekarang ditinggalkan oleh Amerika tidak ada appellate body-nya, tetapi itu yang selama ini dipakai [banding], kita harapkan Amerika bisa masuk lagi sehingga ada body-nya,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (2/12/2022).
Dia berharap pencabutan blokade itu dapat memudahkan rencana pemerintah untuk mengajukan banding atas putusan panel badan pengatur perdagangan internasional tersebut.
Adapun laporan final panel pada 17 Oktober 2022 lalu menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592 tersebut.
Pembelaan Pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut.
“Uni Eropa sudah bentuk aturannya sendiri, kita ikut aturan yang sudah baku WTO,” kata dia.
Baca Juga
Hanya saja, dia menyesalkan, sikap Uni Eropa yang kekeh mengajukan gugatan atas kebijakan domestik pemerintah untuk hilirisasi bijih nikel tersebut. Dia berharap Uni Eropa dapat memobilisasi investasi mereka untuk ikut membangun industri hilir nikel di Indonesia.
“Lihat saja China masuk besar-besaran, kita masih banyak kok cadangannya, kita welcome datang investasi di sini bantuin dong rakyat Indonesia supaya bisa kerja,” tuturnya.
Seperti diketahui, appellate body sebagai pengadilan banding sistem penyelesaian WTO sejak 2019 tidak lagi efektif menyelesaikan sengketa antarnegara lantaran kekosongan hakim uji dan blokade atas penunjukan hakim baru oleh Amerika Serikat.
Upaya mengatasi kevakuman appellate body saat ini masih difokuskan pada upaya perbaikan kelembagaan dan kemungkinan penggantian sistem ajudikasi dua tingkat dengan ajudikasi satu tingkat.
Karena nuansa ketidakpastian tersebut maka pemerintah perlu mengamankan hak Indonesia untuk menggunakan mekanisme banding alternatif selain appellate body yang saat ini sedang vakum apabila keputusan dan rekomendasi panel tidak sesuai dengan keinginan Indonesia.
Pada pertengahan tahun lalu, Uni Eropa meningkatkan tantangannya di Organisasi Perdagangan Dunia atas larangan ekspor bijih nikel Indonesia dengan meminta badan perdagangan yang berbasis di Jenewa membentuk panel untuk memutuskan kasus tersebut.
UE melontarkan keluhan awalnya pada November 2019 terhadap pembatasan ekspor bahan mentah terutama bijih nikel dan bijih besi yang digunakan untuk membuat baja tahan karat.
Komisi Eropa yang mengkoordinasikan kebijakan perdagangan untuk 27 negara Uni Eropa mengatakan bahwa larangan ekspor bijih nikel Indonesia dan persyaratan pemrosesan dalam negeri untuk bijih nikel dan bijih besi adalah ilegal dan tidak adil bagi produsen baja UE.
"Faktanya adalah bahwa tidak ada anggota WTO [World Trade Organization] yang diizinkan untuk membatasi ekspor bahan mentah dengan cara ini, memberlakukan pembatasan ilegal untuk menguntungkan produsen dalam negeri," kata Komisaris Perdagangan UE Valdis Dombrovskis dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari financialpost.com, Kamis (14/1/2021).
Permintaan dibentuknya panel mengikuti periode konsultasi dari 30 Januari 2020, yang gagal menyelesaikan masalah. Keputusan panel kemungkinan akan berlangsung setidaknya satu tahun lagi.
Komisi Eropa menuturkan bahwa industri baja tahan karat UE berproduksi pada level terendah selama 10 tahun, sedangkan Indonesia ditetapkan menjadi produsen terbesar kedua di dunia setelah China karena tindakan yang tidak adil.