Bisnis.com, JAKARTA – Maxim Indonesia berharap kebijakan penetapan tarif ojek online atau ojol yang nantinya berada di bawah kewenangan Gubernur masing-masing wilayah tetap melibatkan para pihak aplikator dan pemangku kepentingan terkait.
Rencana Kementerian Perhubungan untuk mengalihkan wewenang penetapan tarif ojol kepada Pemerintah Daerah atau Gubernur dilatarbelakangi akan adanya revisi PM No. 12/2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.
Business Development Manager Maxim Indonesia Imam Mutamad Azhar menjelaskan apabila nantinya diputuskan bahwa regulasi mengenai penentuan tarif ojek online diserahkan kepada Gubernur, tentu pihaknya akan mengikuti peraturan yang berlaku. Namun, dia juga berharap penentuan tarif akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang berhubungan dengan ekosistem transportasi online.
“Kami juga berharap saat peraturan ini berlaku, Gubernur akan menentukan tarif sesuai dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujarnya, Kamis (1/12/2022).
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia atau SPAI Lily Pujiati memandang soal penetapan tarif ojol tersebut harus mensyaratkan beberapa hal. Pertama, Kementerian Perhubungan harus dapat menegakkan hukum yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Karena hingga hari ini, aplikator yang masih melanggar aturan Keputusan Menteri Perhubungan No. 667/2022 terkait potongan aplikator maksimal 15 persen.
Menurutnya, sudah 2 bulan pasca penetapan tarif baru ojol, aplikator masih melanggar aturan dengan melakukan potongan 20 persen – 40 persen dari pendapatan pengemudi ojol.
Baca Juga
Dia meminta Kemenhub harus bertindak tegas terhadap aplikator yang masih melanggar aturan, sebelum mewacanakan aturan baru yang juga tidak jelas kapan akan diberlakukan. Kemudian, terkait dengan wacana penetapan tarif ojol oleh Pemerintah Daerah juga harus melibatkan pengemudi ojol agar tarif yang ditetapkan nanti sesuai kondisi di daerah masing-masing dan dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan pengemudi ojol.
Namun demikian, skema bagi hasil berdasarkan tarif jasa ojol yang diciptakan oleh aplikator ini tidak menjamin kepastian pendapatan, selama pengemudi ojol masih berstatus mitra. Karena pengemudi ojol tidak mendapatkan upah minimum per bulan seperti halnya pekerja tetap. Pengemudi ojol hanya bergantung pada imbalan dari orderan yang dikerjakan. Bila pengemudi ojol tidak mengerjakan karena sakit, maka tidak ada pendapatan yang diterima.
Selain itu, dia meminta Kementerian Perhubungan harus juga merevisi pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 12/2019 terkait hubungan antara aplikator dan pengemudi ojol. Kementerian Perhubungan harus berani merevisi pasal yang sebelumnya menetapkan hubungan keduanya sebagai Hubungan Kemitraan, diubah menjadi hubungan kerja. Hal itu dikarenakan selama ini aplikator menggunakan status mitra untuk tidak memenuhi hak-hak pekerja bagi pengemudi ojol.
Fakta di lapangan, hubungan antara aplikator dan pengemudi ojol adalah hubungan kerja yang tidak diakui oleh aplikator. Sehingga hak-hak pekerja angkutan online yang diabaikan oleh aplikator, otomatis menurunkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan pengemudi ojol.