Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha akan menggugat Permenaker Nomor 18/2022 yang mengatur mengenai kenaikan upah minimum maksimal 10 persen pada 2023.
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai beleid tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu iklim investasi dalam negeri.
"Tidak bisa menteri bikin peraturan juga bertentangan dengan peraturan presiden. Bagaimana iklim investasi ke depan? Apa karena tahun politik menteri-menteri bisa ambil keputusan seenaknya?" ujar pendiri Santini Group itu, Jumat (25/11/2022).
Menurutnya, aturan kenaikan upah minimum itu juga dapat mengancam keberlangsungan usaha padat karya dalam negeri. Oleh karena itu, kalangan pengusaha menilai perlu campur tangan dari Mahkamah Agung (MA) untuk menegakkan hukum di Indonesia.
"Perlu MA ambil putusan penegakkan hukum di Indonesia ini. Akibatnya usaha padat karya bisa tutup di Indonesia dan karyawannya kebanyakan unskilled," katanya.
Adapun, asosiasi pengusaha akan mengajukan gugatan atas Permenaker 18/2022 ke Mahkamah Agung. Kuasa hukum asosiasi pengusaha, Denny Indrayana mengatakan, dalam gugatan itu pihaknya meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menaker Ida Fauziyah menunda implementasi beleid tersebut.
Baca Juga
Di samping itu, dia berharap agar seluruh kepala daerah tidak menggunakan Permenaker 18/2022 sebagai dasar penetapan upah.
“Guna menghindari gugatan pembatalan penetapan upah minimum ke Pengadilan Tata Usaha Negara, disebabkan Permenaker 18/2022 yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi tersebut,” ujar Denny melalui keterangan persnya, Jumat (25/11/2022).
Denny mengungkapkan, Permenaker 18/2022 bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, antara lain Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang Pengujian UU Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Menurutnya, Permenaker 18/2022 disusun tanpa partisipasi publik yang seharusnya dan terbitnya Permenaker 18/2022 menjelang ujung masa penetapan upah minimum 2023 telah mengubah berbagai rumusan hukum yang telah ada pada peraturan yang lebih tinggi, dan karenanya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut, serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang memperburuk iklim usaha di Tanah Air.
“Sambil menunggu putusan MA yang kami harapkan tidak terlalu lama karena pentingnya soal upah minimum ini, kami dengan rendah hati memohon kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Ibu Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah untuk menunda pelaksanaan Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut, permohonan yang mana juga akan kami sampaikan dalam permohonan uji materi ke MA,” jelas eks Wamenkumham era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Lebih lanjut, Denny juga menuturkan, pengubahan kebijakan upah minimum melalui Permenaker 18/2022 tersebut bukan hanya bermasalah dari sisi hukum, tetapi juga problematik dari sisi ekonomi maupun keadilan karena makin memberatkan dunia usaha
“Pada gilirannya dapat menyebabkan hilangnya peluang kerja dan bahkan gelombang pemutusan hubungan kerja massal, yang tentunya sama-sama tidak kita harapkan akan terjadi,” ujar Denny.