Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investigasi Rampung, KNKT Ungkap Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182

KNKT akhirnya mengungkapkan hasil investigasi penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 kepada publik.
Sejumlah penyelam TNI AL menarik puing yang diduga turbin dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ke atas KRI Rigel-933 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Senin (11/1/2021)./Antara-M Risyal Hidayat
Sejumlah penyelam TNI AL menarik puing yang diduga turbin dari pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ke atas KRI Rigel-933 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Senin (11/1/2021)./Antara-M Risyal Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkapkan kepada publik hasil investigasi penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 setelah lebih dari satu tahun peristiwa nahas tersebut terjadi.

Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan, Nurcahyo Utomo, menjelaskan hasil investigasi terhadap pesawat yang jatuh pada 9 Januari 2021. Saat itu, pesawat dioperasikan untuk penerbangan berjadwal dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, menuju Bandar Udara Internasional Supadio, Pontianak.

Pesawat dengan registrasi PK-CLC tersebut tinggal landas pada pukul 14.36 WIB. Nurcahyo menuturkan, pada saat sedang bergerak naik, pengaturan arah pada autopilot berubah dan disusul perubahan pengaturan vertikal.

Menurutnya, perubahan tersebut membutuhkan tenaga mesin yang lebih kecil. Normalnya, pengatur tenaga mesin atau thrust lever akan bergerak mundur bersama untuk mengurangi tenaga mesin.

Data kotak hitam yang ditemukan berupa rekaman data penerbangan (Flight Data Recorder/FDR) merekam bahwa thrust lever kiri bergerak mundur, sedangkan yang kanan tetap, sehingga terjadi perbedaan tenaga mesin di mana tenaga mesin kiri lebih kecil dibandingkan dengan tenaga mesin sebelah kanan atau yang disebut dengan asimetri.

“Investigasi menyimpulkan bahwa sistem auto throttle tidak dapat menggerakkan thrust lever kanan akibat adanya gaya gesek atau gangguan lain pada bagian mekanikal thrust lever kanan. Menjelang ketinggian 11.000 kaki, permintaan tenaga mesin semakin berkurang, hal ini membuat thrust lever kiri semakin mundur,” kata Nurchayo, Kamis (10/11/2022).

Pesawat udara Boeing 737-500 tersebut telah dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) yang berfungsi menonaktifkan autothrottle jika terjadi asimetri. Hal itu guna mencegah perbedaan tenaga mesin yang lebih besar.

Penonaktifan autothrottle terjadi antara lain jika flight spoiler membuka lebih dari 2,5 derajat selama minimum 1,5 detik. Kondisi ini tercapai pada pukul 14.39.40 WIB saat pesawat udara berbelok ke kanan dengan sudut 15 derajat, tetapi autothrottle tetap aktif dan menjadi non-aktif pada pukul 14.40.10 WIB.

Nurcahyo mengatakan keterlambatan ini diyakini karena flight spoiler memberikan informasi dengan nilai yang lebih rendah yang disebabkan karena penyetelan pada flight spoiler. Adapun, penyetelan pada flight spoiler ini belum pernah dilakukan di Indonesia.

Kondisi asimetri telah menimbulkan perbedaan tenaga mesin yang menghasilkan gaya yang membuat pesawat udara pesawat bergeleng atau yaw ke kiri. Secara aerodynamic, yaw akan membuat pesawat miring dan berbelok ke kiri.

Gaya miring atau yang membelokkan pesawat udara ke kiri yang dihasilkan oleh perbedaan tenaga mesin menjadi lebih besar dari gaya yang membelokkan ke kanan yang dihasilkan oleh aileron dan flight spoiler. Kondisi ini menyebabkan pesawat berbelok ke kiri.

Namun, dengan adanya keterlambatan CTSM untuk menonaktifkan autothrottle, telah menyebabkan perbedaan tenaga mesin semakin besar, dan pesawat udara berbelok ke kiri yang seharusnya ke kanan. Deviasi berbeloknya pesawat udara tidak sesuai dengan yang diinginkan merupakan indikasi bahwa pesawat udara telah berada pada kondisi upset.

Perubahan yang terjadi di kokpit pesawat, antara lain perubahan posisi thrust lever, penunjukan indikator mesin, dan perubahan sikap pesawat yang tergambar pada EADI (Electronic Attitude Direction Indicator) tidak disadari oleh pilot. Hal ini mungkin disebabkan karena kepercayaan terhadap sistem otomatisasi.

Pada saat pesawat berbelok ke kanan, kemudi juga miring ke kanan dapat membuat pilot berasumsi pesawat berbelok ke kanan sesuai yang diinginkan. Kondisi tersebut merupakan confirmation bias, yaitu kondisi di mana seseorang mempercayai informasi yang mendukung opini atau asumsinya.

Padahal yang terjadi, saat kemudi miring ke kanan, pesawat berubah menjadi miring dan berbelok ke kiri. Kondisi ini menyebabkan adanya peringatan kemiringan yang berlebih atau bank angle warning.

Kurangnya pengawasan pada instrumen dan posisi kemudi yang miring ke kanan, telah menimbulkan asumsi bahwa pesawat miring ke kanan sehingga tindakan pemulihan tidak sesuai.

”Complacency terhadap sistem otomatisasi dan confirmation bias kemungkinan telah menyebabkan dikuranginya monitor pada instrumen dan keadaan lain yang terjadi,” jelasnya.

Tak hanya itu, investigasi juga menemukan bahwa belum adanya aturan tentang Upset Prevention and Recovery Training [UPRT] berpengaruh terhadap pelatihan yang dilaksanakan oleh maskapai.

Setelah kejadian nahas tersebut, beberapa pihak telah melakukan tindakan keselamatan sebagai upaya meningkatkan keselamatan. Nurcahyo menyebut tindakan keselamatan dilakukan oleh Kementerian Perhubungan dengan melakukan inspeksi khusus kepada seluruh pesawat udara Boeing 737-300/400/500.

Kemudian, merevisi Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) Bagian 121 terkait ketentuan pelaksanaan UPRT, dan membentuk tim khusus untuk membuat panduan pelaksanaan UPRT di Indonesia.

Sriwijaya Air sendiri, sebutnya, telah melakukan beberapa tindakan keselamatan, termasuk membuat pelatihan UPRT bekerja sama dengan konsultan.

Selain itu, Sriwijaya Air menambahkan materi complacency, cockpit distraction dan loss of control inflight pada silabus pelatihan Crew Resource Management (CRM).

Sriwijaya juga disebut telah meningkatkan pelatihan engineer dan memanfaatkan perangkat lunak untuk manajemen perawatan pesawat udara, serta memasukkan peristiwa asimetri dan loss control in flight ke dalam Flight Data Analysis atau FDA. Maskapai dengan layanan medium tersebut juga merevisi program perawatan pesawat udara untuk memasukkan fidelity test pada saat pemeriksaan tahunan Cockpit Voice Recorder/CVR.

Dari sisi Boeing telah melakukan beberapa tindakan keselamatan, termasuk menerbitkan Flight Operation Technical Bulletin (FTOB) terkait upset prevention and recovery.

Boeing juga telah mengeluarkan Boeing Multi Operator Message (MOM) diikuti dengan penerbitan Service Bulletin (SB) terkait potensi kegagalan laten dari flap indication system wiring dan dampaknya terhadap sistem autothrottle.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper