Bisnis.com, JAKARTA- Pelaku industri tekstil mengaku tertekan akibat banjir produk impor serta pukulan beruntun dari penurunan pesanan hinga naiknya harga bahan baku. Ta pelak lagi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menimpa para pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan saat ini industri TPT sekarang sedang mengalami penurunan utilisasi.
Hal ini merupakan imbas dari perang Rusia-Ukraina yang membuat konsumsi masyaraakt Eropa dan Amerika Serikat melesu. Sementara itu, pasar domestik kembali dibanjiri produk impor.
"Inflasi di berbagai negara itu sudah mencapai 2 digit dan ada perlemahan mata uang, ini yang membuat daya beli mereka juga menurun dan kebutuhan tekstil ini bukan kebutuhan primer," kata Jemmy, Rabu (2/11/2022).
Lebih lanjut, dia memprediksi penurunan kinerja industri ini akan berlanjut di tahun 2023 jika tidak ada antisipasi dan langkah yang diambil pemerintah.
Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat Yan Mei melaporkan per Oktober 2022 tercatat sebanyak 55.000 pekerja dikenakan PHK dan 18 perusahaan tutup dari 14 kabupaten/kota di Jawa Barat yang melaporkan. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah.
Baca Juga
"Sudah ada 14 kabupaten/kota yang memberikan laporan mengenai pengurangan atau putus kontrak. Kurang lebih yang kena PHK itu hampir 55.000 dan yang tutup ada 18 perusahaan," kata Yan Mei dalam konferensi pers 'Badai PHK di Industri TPT, Produsen Minta Pemerintah Turun Tangan', Rabu (2/11/2022).
Dari 18 perusahaan yang tutup, setidaknya 9.500 pekerja terkena dampak. Jika ditotal, dari pengurangan dan putus kontrak hingga saat ini tercatat sebanyak 64.000 pekerja dari 124 perusahaan.
Yan Mei memprediksi angka tersebut akan terus bertambah mengingat kondisi kinerja tekstil yang semakin menurun. Sebagai pengusaha yang fokus di industri garmen, dia mencatat terjadi penurunan pesanan hingga 50 persen dari bulan April 2022.