Bisnis.com, JAKARTA - Obsesi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengonsolidasikan perusahaan pelat merah, khususnya pada segmen panas bumi alias geothermal untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT) direspons positif pelaku industri hulu tekstil.
Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta misal, menilai penggunaan bahan bakar geothermal bermanfaat bagi industri. Sebab, biaya pajak karbon untuk jenis energi ini diyakini bakal lebih rendah dari energi fosil.
"Jadi, energi panas bumi ini rendah karbon. Tentunya hal ini akan sangat bermanfaat untuk industri. Jadi, tax [pajak] yang nanti ditagih ke kami lebih rendah dibandingkan dengan energi fosil. Selain itu, di mata buyer kami jadi lebih bagus," kata Redma kepada Bisnis, Minggu (30/10/2022).
Dia membeberkan sejumlah langkah awal yang sudah diambil oleh pelaku industri hulu tekstil dalam mengantisipasi pergeseran penggunaan bahan baku dari fosil menjadi EBT.
Sejak awal tahun ini, seluruh pembangkit listrik milik industri tekstil tidak ada yang beroperasi. Perusahaan-perusahaan mengalihkan alokasi ongkos energinya ke kantong PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Selain sebagai langkah antisipasi penerapan pajak karbon, Redma menyebut 'matinya' mesin-mesin di pembangkit perusahaan tekstil dikatakan terjadi karena harga bahan bakar batu bata yang fluktuatif.
Sebelumnya, ungkap Redma, PLN sudah menawarkan penggunaan EBT kepada pelaku industri hulu tekstil. Namun, belum ada perusahaan yang apply dengan penawaran tersebut.
Sebab, lanjutnya pelaku industri masih memiliki sejumlah pertanyaan yang patut dipertimbangkan. Pelaku industri hulu tekstil masih mempertanyakan skema pemisahan antara bahan bakar fosil dan EBT oleh PLN.
"Hal yang menjadi pertanyaan memang bagaimana PLN memisahkan penyaluran bahan bakar itu? Karena, setahu saya mereka hanya menggunakan satu jalur?"
Selain itu, PLN menawarkan EBT dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan batu bara. Dia melanjutkan, pelaku industri tekstil masih menghitung-hitung ongkos penggunaan EBT.
Hitung-hitungan tersebut, lanjut Redma, diharapkan bisa dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan pelaku industri.
"Namun, pada prinsipnya EBT tidak lebih mahal dari fosil," tukasnya.