Bisnis.com, JAKARTA — Hasil survei Indikator Politik Nasional menyebutkan lebih dari separuh responden menolak kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM. Masyarakat justru lebih memilih pemerintah menaikkan utang untuk menambah subsidi daripada harga BBM naik.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menjelaskan bahwa pada September 2022 pihaknya melakukan survei tatap muka kepada 1.220 orang, yakni warga yang memiliki hak pilih, berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah. Toleransi kesalahan survei (margin of error) itu sekitar ±2,9 persen.
Berdasarkan survei itu, 55,6 persen responden menyatakan tidak setuju sama sekali atas kenaikan harga BBM, dan 32 persen menyatakan kurang setuju. Menurut Burhanuddin, hal tersebut tidak mengagetkan karena reaksi penolakan publik terhadap kenaikan harga BBM terlihat jelas.
Burhanuddin menyebut bahwa terdapat temuan menarik, yakni para responden lebih berkenan jika pemerintah menambah utang daripada menaikkan harga BBM. Bahkan, lebih dari separuh responden yang menyatakan hal tersebut.
"Sebanyak 58 persen setuju dengan pendapat meski harga bahan bakar dunia saat ini mengalami peningkatan, pemerintah harus berupaya agar harga bahan bakar tidak dinaikkan, termasuk jika harus menambah utang," ujar Burhanuddin pada Kamis (6/10/2022).
Sebanyak 31,2 persen responden menyatakan setuju harga BBM naik untuk mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Mereka menilai harga minyak dunia sedang tinggi, sehingga perlu terdapat penyesuaian harga di tingkat konsumen.
Hal itu berkaitan dengan temuan Indikator bahwa 72,1 persen responden tidak mengetahui kenaikan beban subsidi BBM dalam APBN, yakni menjadi di atas Rp502 triliun.
"Sebanyak 23,8 persen responden mengatakan kurang percaya terhadap informasi pembengkakan beban subsidi BBM, bahkan 5,7 persen di antaranya tidak percaya sama sekali," katanya.