Bisnis.com, JAKARTA--Kementerian Pertanian (Kementan) menyampaikan produk hortikultura Indonesia di pasar ekspor sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia. Ketertinggalan tersebut bukan disebabkan produktivitas, melainkan lantaran Indonesia kalah dari segi konsep.
Dirjen Holtikultura Kementan Prihasto Setyanto mengatakan, dibandingkan ketiga negara tersebut, Indonesia selama ini tidak mendorong komoditas yang memiliki potensi pasar yang besar.
“Thailand, Vietnam, Malaysia mereka dalam mengembangkan hortikultura menemukan sebuah komoditas yang betul-betul memiliki potensi pasar yang besar. Mereka langsung kembangkan dalam skala ekonomi yang cukup luas, yang memudahkan dalam aspek pemasaran,” ujar Prihasto dalam diskusi virtual bertajuk ‘Produk Sawit untuk Hortikultura-Peningkatan Kemitraan UMKM antar Sektor’, Selasa (4/10/2022).
Prihasto membeberkan, akibat kesalahan konsep tersebut, pada akhirnya komoditas hortikultura Indonesia sulit untuk diekspor. Misalnya manggis, ujar dia, meskipun permintaannya tinggi, eksportir sulit memperoleh manggis yang terkonsentrasi di suatu daerah.
“Eksportir tersebut, meminta tolong ke saya bagaimana kira-kira agar bisa ekspor manggis. Ternyata dia dapatnya susah meski hanya 200 ton. Masuk ke desa ini dapatnya 5 ton, masuk ke desa ini dapat 2 ton, masuk ke desa ini, dapat 3 ton,” tutur dia.
Lantaran lokasi ketersediaan manggis yang terpencar-pencar tersebut, menurut Prihasto dibutuhkan upaya dan modal yang besar untuk mengumpulkan manggis tersebut. “Belum lagi dari kualitasnya yang tidak seragam. Ini menjadi sebuah tantangan, mengumpulkan 200 ton aja susahnya minta ampun,” ungkapnya.
Baca Juga
Prihasto mengungkapkan hal tersebut berbeda dengan Thailand, jika hanya butuh 200 ton cukup datang ke satu kabupaten dan langsung dapat.
“Mereka punya konsep, kita terlalu menyebar sehingga terlalu sulit dalam pemasaran. Begitu ada produk yang diharapkan diminati ternyata tidak bisa memenuhi karena dari segi kuantitasnya tidak cukup. Akhirnya daya saingnya lemah, karena biaya transportasinya begitu mahal untuk mengumpulkan tersebut,” tutur dia.
Menurut data Kementan, terdapat 566 sebagai binaan komoditas hortikultura. Terdiri atas buah-buahan 60 komoditas, sayuran 82 komoditas, tanaman 63 komoditas, florikultura ada 361 komoditas. Namun, dari 566 komoditas hortikultura tersebut yang masuk ke statistik nasional hanya 88 komoditas. Dari 88 itu, terdapat 26 jenis sayuran semusim, 27 jenis buah dan sayuran tahunan, 15 jenis tanaman biofarmaka, 20 jenis tanaman hias.
Lebih lanjut, Prihasto membeberkan bahwa sejak 2020 Kementan membangun program Kampung Holtikultura untuk mengarahkan komoditas yang dipersiapkan untuk pasar ekspor. Mulai dari manggis, durian, klengkeng, hingga mangga yang pasarnya masih luas.
“Inilah salah satu program untuk dikembangkan, tidak ada kata terlambat. Meskipun dengan Thailand atau Malaysia kita terlambat beberapa puluh tahun,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Prihasto, Kementan pun mendorong aspek hilirisasinya dengan program UMKM Berbasis Hortikultura. Semisal cabai yang sudah mulai diolah oleh UMKM binaan Kementan. Saat ini, sudah terdapat 420 UMKM hortikultura mengembangkan hilirisasi produk hortikultura sejak 2020. Mulai dari buah-buahan, sayur-sayuran, cabai, bawang putih, dan bawang merah.
“Pada 2023 juga akan kita kembangkan 220 UMKM sehingga pada 2024 ada 800-900 UMKM berbasis hortikultura yang ada di Indonesia. Bahkan produk UMKM dari Yogyakarta ada yang sudah diterima di Amerika, bahkan ada ke Uni Eropa, Uni Emirat Arab,” ujar Prihasto.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sub sektor hortikultura pada kuartal I dan II tahun 2021 mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,01 persen dan 1,84 persen. Pada 2020, ekspor hortikultura mencapai US$645,48 juta, meningkat 37,75 persen dibandingkan tahun 2019. Peningkatan ekspor ini didominasi oleh komoditas buah-buahan selama masa pandemi Covid-19 tahun 2020. Nilai realisasi ekspor buah-buahan tahun 2020 tercatat sebesar US$389,9 juta, meningkat 30,31 persen dibandingkan tahun 2019.