Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lulusan IPB Ogah Jadi Petani, Guru Besar Ungkap Penyebabnya

Guru besar Institut Pertanian Bogor atau IPB membenarkan fenomena itu, karena terdapat masalah fundamental yang mendasarinya.
Gedung Rektorat IPB University./ipb.ac.id
Gedung Rektorat IPB University./ipb.ac.id

Bisnis.com, JAKARTA — IPB seringkali disebut sebagai Institut Perbankan Bogor atau Institut Publisistik Bogor, karena banyaknya alumni kampus tersebut yang justru tidak menjadi petani. Guru besar Institut Pertanian Bogor atau IPB membenarkan fenomena itu, karena terdapat masalah fundamental yang mendasarinya.

Guru Besar IPB Dwi Andreas Santosa menyatakan bahwa sebutan-sebutan itu memang benar adanya. Banyak alumni IPB yang memilih untuk tidak menjadi petani atau banting setir ke bidang lain yang tidak sejalan dengan dengan disiplin ilmunya.

Menurutnya, alasan kesejahteraan menjadi penyebab utama para sarjana dari kampus pertanian justru ogah menjadi petani. Penghasilan dari sektor pertanian relatif kecil, sehingga para alumni IPB memilih untuk lebih realistis dengan bekerja di sektor lain.

"Kalau ditanya tertarik, sebenarnya [alumni IPB] tertarik saja [untuk menjadi petani]. Namun, dari 17 sub sektor pekerjaan, yang paling rendah pendapatannya itu pertanian," ujar Andreas dalam diskusi Polemik: Waspada Resesi Ekonomi dan Krisis Pangan, Sabtu (1/10/2022).

Profesor bidang ilmu tanah tersebut menjelaskan bahwa memang terdapat alumni IPB yang memilih sektor pertanian, tetapi mereka cenderung masuk ke perkebunan. Menurutnya, sangat sedikit alumni yang mau 'turun ke sawah' atau menggarap lahan.

"Karena yang paling rugi adalah yang on farm," katanya.

Menurutnya, tingkat pendapatan sektor pertanian yang rendah merupakan masalah kompleks yang tidak kunjung terselesaikan. Salah satu penyebabnya, kebijakan yang tidak mendukung perkembangan petani kecil atau tidak sampai kepada mereka.

Misalnya, Andreas bersama para asosiasi tani mencatat bahwa biaya produksi padi per kilogram gabah pada 2019 adalah Rp4.523. Namun, pemerintah menetapkan angka biaya produksi itu di Rp3.700 atau sekitar 18 persen lebih rendah.

Pemerintah memang menaikkan angka biaya produksi itu menjadi Rp4.200 pada 2020, tetapi masih lebih rendah dari perhitungan Andreas pada 2019. Pada tahun ini, ketika biaya produksi padi menjadi Rp5.276, harga pokok produksi (HPP) versi pemerintah tetap berada di 4.200 atau sekitar 20 persen lebih rendah.

Andreas menyebut bahwa hal itu membuat usaha pertanian semakin tidak menguntungkan karena biaya produksi dengan harga jual kian jomplang. Menurutnya, penanaman padi di lahan kurang dari 1.500 meter persegi hampir dipastikan akan rugi.

"Petani itu realistis, kalau mereka menanam sesuatu dan tidak menguntungkan akan ditinggalkan. Lahan kurang dari 1.500 meter persegi biasanya dilepas ke pemodal, karena sudah tidak menguntungkan lagi. Itu alasannya konversi lahan pertanian begitu besar," ujarnya.

Sayangnya, menurut Andreas, di tengah kondisi itu kebijakan pangan cenderung tidak berpihak kepada petani kecil. Pemenuhan pasokan pangan cenderung mengandalkan impor, sehingga petani kecil tidak mampu berkembang dengan optimal.

Kondisi itu menurutnya mendasari para sarjana pertanian untuk mencari nafkah lewat jalan-jalan lain, selain bertani.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper