Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, rebutan gabah menjadi salah satu penyebab harga beras terdongkrak naik saat ini.
Zulhas menyebut, pada periode Agustus hingga September saat ini seharusnya harga beras justru turun karena biasanya pasokan sangat banyak. Namun, yang terjadi justru naik, meski pasokan tersedia.
“Kenapa? Karena penyebabnya rebutan gabah sehingga harga gabah meningkat cukup signifikan, otomatis kalau digiling jadi beras, harga beras jadi naik,” ujarnya saat mengunjungi Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Senin (3/10/2022).
Komoditas utama masyarakat Indonesia tersebut berpengaruh tinggi terhadap inflasi, yaitu sebesar 3,33 persen. Untuk itu, kenaikan harga beras setiap Rp10 pun, kata Zulhas, dapat mendorong pertumbuhan angka kemiskinan.
“Beras sendiri terhadap inflasi itu tinggi sekali, 3,33 persen, kalau naik Rp10 saja angka miskin itu bertambah,” lanjutnya.
Terkait berebut gabah yang Zulhas sebutkan, untuk meningkatkan daya saing, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menyurati Perum Bulog sebagai penyerap gabah untuk melaksanakan pengadaan gabah atau beras dengan harga fleksibilitas.
Menurut Surat Kepala Badan Pangan Nasional tersebut, pembelian Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.450/kg, sementara Gabah Kering Giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp5.550/kg, dan GKG di gudang Perum Bulog sebesar Rp5.650/kg.
Baca Juga
Melalui surat tersebut pula, Bapanas menugaskan harga acuan di Perum Bulog dari Rp8.300 per kg menjadi Rp8.800 per kg dan berlaku hingga 30 November 2022.
Berdasarkan laporan dalam Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga rata-rata beras di tingkat konsumen saat ini bila dibandingkan dengan 2 bulan lalu mengalami kenaikan Rp200 untuk beras premium menjadi Rp12.700/kg.
Untuk harga beras medium naik Rp300 atau 2,88 persen, yakni dari Rp10.400 per kg menjadi Rp10.700 per kg
Sementara dari sisi ketersediaan stok indikatif beras di Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Perum Bulog terpantau berada di angka sekitar 861.966 ton (ketahanan 10,8 bulan). Angka tersebut jauh dari batas aman yang pemerintah tetapkan, yaitu 1 juta hingga 1,5 juta ton.
Senada dengan Zulhas, Perum Bulog melihat terganggunya harga beras bukan hanya akibat cuaca semata. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) menyebutkan, berkembangnya produksi beras dari perusahaan swasta mengganggu harga beras.
"Dengan berkembangnya produksi beras swasta dengan teknologi tinggi, mereka yang merusak harga di lapangan. Satgas pangan yang harus bergerak," ujarnya.
Untuk itu, Buwas meminta kepada para regulator untuk membuat aturan bagi para pengusaha beras swasta. Lantaran bila dibiarkan, kata Buwas, pihaknya tidak mampu bersaing dengan pabrik beras swasta yang tidak memiliki aturan.
Perum Bulog yang memiliki tugas menyerap dan melakukan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) memiliki aturan baik untuk harga pembelian dan penjualan.
"Tolong dibatasi swasta-swasta yang bermain dengan beras karena memperbesar kekuatan mereka, dan ini sangat merugikan petani, ketahanan pangan kita. Mereka bebas sedangkan [milik] negara dibatasi," ungkap Buwas.
Belum cukup sampai terhambat akibat berebut gabah dan masalah regulasi, Buwas juga menyebut antara Perum Bulog dan pihak swasta pun kerap beradu cepat dalam menggunakan alat angkut komoditas tersebut.