Bisnis.com, JAKARTA - Inggris berada dalam krisis keuangan yang mengancam untuk mempercepat penurunan ekonomi ke dalam resesi. Perdana Menteri Inggris Elizabeth Truss atau Liz Truss ditekan untuk menentukan seberapa dalam resesi yang akan terjadi.
Dalam kata lain, pemerintahan Liz Truss yang berusia tiga minggu menentukan memulihkan kredibilitasnya di mata investor.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (29/9/2022), dalam sepekan sejak pemerintah mengumumkan pemotongan pajak terbesar sejak 1972, nilai poundsterling telah jatuh ke level terendah yang pernah ada terhadap dolar AS.
Biaya untuk mengasuransikan utang pemerintah Inggris terhadap risiko gagal bayar telah melonjak ke level tertinggi sejak 2016, sehingga Bank of England terpaksa melakukan intervensi di tengah kekhawatiran tentang dana pensiun negara.
Pemangkasan anggaran hari Jumat telah menjadi titik utama kekhawatiran jangka pendek investor tentang pemotongan pajak yang tidak didanai pada saat inflasi mendekati level tertinggi empat dekade. Selain itu, hal ini juga dinilai sebagai kegagalan Bank of England untuk menahan pertumbuhan harga.
Kepala strategi FX global di Union Bancaire Privee UBP SA London Peter Kinsella menilai hal ini merupakan adalah yang terbaru dari rangkaian panjang keputusan buta huruf secara ekonomi yang dipaksakan sendiri.
Baca Juga
"Ini dimulai dengan Brexit dan sekarang kami melihat iterasi terbaru" tegasnya.
Saat pasar jatuh, Bank of England terpaksa bertindak untuk mencegah dan menggunakan varian alat kebijakan yang Truss habiskan beberapa bulan terakhir untuk dikritik. Dia berjanji untuk membeli emas tua apa pun yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban pasar.
Namun, keputusan tersebut meningkatkan dua risiko, yakni bank harus menaikkan suku bunga lebih jauh dalam beberapa minggu, dan investor dapat ketakutan terkait BOE membiayai pemerintah.
Ekonom di JPMorgan Chase & Co. di London Allan Monks mengungkapkan pasar tidak mau mempercayai klaim pemerintahan Truss karena akan memberikan kesinambungan fiskal jangka menengah atas dasar kata-katanya saja.
"Itu mencerminkan ketidakpercayaan yang lebih luas di pasar tentang bagaimana pembuatan kebijakan Inggris telah berkembang - dan dalam pandangan kami, ketidakpercayaan itu sepenuhnya dibenarkan." jelasnya.