Bisnis.com, JAKARTA — PT Borneo Alumina Indonesia (PT BAI) melaporkan potensi pendapatan yang hilang atau potential revenue loss dari mandeknya proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah selama 16 bulan terakhir mencapai US$450 juta atau setara Rp6,37 triliun hingga September 2022.
“Sampai saat ini delayed-nya itu 16 bulan, kami hitung potential revenue loss-nya itu sekitar US$450 juta,” kata Direktur Teknik PT BAI Darwin Saleh Siregar saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Selasa (20/9/2022).
PT Borneo Alumina Indonesia yang merupakan anak usaha patungan PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) mencatat setiap bulannya potensi pendapatan yang hilang dari molornya pengerjaan fasilitas pemurnian dan pengolahan bauksit di Mempawah, Kalimantan Barat mencapai US$28 juta atau setara Rp419,16 miliar.
“Per bulan potential revenue loss-nya US$28 juta,” ujarnya.
Belakangan pemerintah mencabut proyek pengerjaan SGAR Mempawah itu dari daftar proyek strategis nasional (PSN) lewat penerbitan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 9 Tahun 2022 pada akhir Juli 2022 lalu.
Adapun, molornya proyek yang ditaksir mencapai US$1,7 miliar dengan kapasitas operasi 1 juta ton itu disebabkan karena perselisihan yang terjadi dari pihak pemegang konsorsium EPC yakni BUMN asal China, China Aluminium International Engineering Corporation Ltd. (Chalieco) sebesar 75 persen dan sisanya PT Pembangunan Perumahan Tbk. (PTPP).
Proyek yang sebelumnya jadi prioritas nasional itu sempat ditarget selesai pembangunan infrastrukturnya minimal 70 persen pada Maret 2022. Hanya saja, perselisihan itu menghambat pengerjaan smelter di posisi 13 sampai 14 persen.
Seperti diketahui, proyek strategis nasional untuk pemurnian bijih bauksit itu dikelola oleh PT BAI yang sahamnya mayoritas dimiliki PT Inalum (Persero) sebanyak 60 persen dan sisanya Antam dengan kepemilikan 40 persen.
Sementara itu, BUMN Holding Industri Pertambangan atau Mining Industry Indonesia (MIND ID) memutus kontrak kerja sama dengan konsorsium EPC yakni Chalieco dan PTPP setelah mandeknya pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan bauksit tersebut.
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan holding tambang sudah mencoba mencari sejumlah jalan keluar untuk sengketa yang dihadapi oleh konsorsium EPC selama delapan bulan terakhir. Hanya saja, mediasi yang dilakukan MIND ID tidak kunjung membuahkan hasil.
“Kami sudah di ujung sekali kelihatannya bilamana disetujui Kementerian BUMN kita akan melakukan pemutusan kontrak,” kata Hendi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (12/9/2022).
Menurut Hendi, kontraktor EPC itu merasa keberatan untuk melanjutkan pengerjaan SGAR yang sempat masuk sebagai PSN. Alasannya, keberlanjutan proyek justru dianggap akan merugikan perusahaan secara bisnis.
“Kontraktor merasa kalau dia melanjutkan ini dia akan rugi besar, mungkin kami tidak ada pilihan lain selain memutus kontrak ini dan mengulang proses pencarian kontrak yang baru,” ungkapnya.