Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat langsung menambah anggaran subsidi energi, khususnya untuk stabilisasi harga bahan bakar minyak atau BBM. Pemerintah akan tetap menggunakan anggaran Rp502 triliun sesuai keputusan bersama Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI.
Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya pemerintah akan mengacu kepada persetujuan DPR dalam hal penganggaran. Oleh karena itu, pemerintah tidak dapat mengubah besaran subsidi karena belum terdapat pembahasan maupun persetujuan dari para anggota dewan.
"Alokasinya sesuai dengan peraturan presiden itu, yang sudah di approve oleh DPR saja, sebanyak Rp502 triliun. Makanya kalau jumlahnya melebihi itu memang harus diperlukan keputusan untuk tahun ini atau meluncur tahun depan," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Rabu (24/8/2022).
Dia menyebut bahwa jika beban subsidi ternyata melebihi asumsi awal, anggarannya berpotensi mundur ke tahun depan. Artinya, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023 berpotensi akan menanggung beban subsidi pada 2022.
Kondisi tersebut sudah terjadi pada tahun ini, yakni pemerintah membawa (carry over) kewajiban kompensasi energi Rp104 triliun dari 2021. Kewajiban itu sudah dibayarkan pada semester I/2022, yang menjadi bagian dari anggaran subsidi Rp502 triliun pada tahun ini.
"Kalau seandainya nanti ada tagihan yang lebih banyak, diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan [BPK], ya berarti meluncur ke tahun 2023 dan membebani APBN 2023, seperti itu," katanya.
Sebelumnya, Sri Mulyani menjelaskan bahwa kondisi saat ini telah melewati berbagai asumsi makro dalam penganggaran subsidi energi. Misalnya, tingkat konsumsi BBM berpotensi menyentuh 29 juta kiloliter, padahal penambahan subsidi menggunakan asumsi 23 juta kiloliter.
Harga minyak dunia masih bergerak di US$104,9 per barrel, padahal pemerintah mematok asumsi US$100 per barrel. Lalu, nilai tukar rupiah pun masih bergerak di kisaran 14.750, sementara asumsi APBN adalah di 14.450.
Kemenkeu memperkirakan bahwa jika kondisi itu terus berlanjut, kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat Rp189 triliun, sehingga totalnya pada 2022 mencapai Rp700 triliun. Perhitungan itu bahkan hanya mencakup pertalite dan solar, belum termasuk liquid petroleum gas (LPG) 3 kilogram dan listrik.
"Kalau tidak dilakukan apa-apa, tidak ada pembatasan, tidak ada apa-apa, maka Rp502 triliun tidak akan cukup," kata Sri Mulyani, Selasa (23/8/2022).