Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan fakta-fakta terkait jebolnya subsidi energi sebesar Rp502 triliun yang telah dianggarkan pada APBN 2022.
Dia menuturkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan Kementerian Keuangan untuk menghitung subsidi energi untuk empat komponen, yaitu Pertalite, Solar, LPG 3 kg, dan listrik.
Khusus untuk Pertalite, Sri Mulyani mengatakan hal tersebut telah disampaikan oleh Menteri ESDM dan Komisi VII DPR RI bahwa proyeksi konsumsi pada Juli hingga akhir tahun bisa mencapai 29 juta kilo liter.
"Padahal, waktu kami menyampaikan ke DPR bulan Juli 2022 untuk menambahkan subsidinya, itu yang sudah ditetapkan di Perpres 98/2022. Itu jumlah subsidi yang sudah disetujui Rp502 triliun," ujarnya saat rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Selasa (23/8/2022).
Artinya, kata dia, subsidi energi sebesar Rp502 triliun itu dihitung dengan asumsi sesuai APBN, yaitu volume Pertalite 23 juta kilo liter dengan harganya US$100 menggunakan kurs Rp14.450 per dolar AS.
Namun, perkiraan tersebut ternyata meleset. Sri Mulyani mengaku realita yang terjadi terhitung Juli, Agustus, dan seterusnya harga minyak atau Indonesian Crude Price (ICP) terus menerus di atas US$100.
Baca Juga
Bahkan, dia menghitung ICP sudah menembus level US$104,9 per barrel dengan kurs Rp14.750 per dolar AS. Menurutnya, harga minyak telah melemah sekitar 4-5 persen.
"Dan paling besar itu volumenya, [naik] dari 23 juta kilo liter ke 29 juta kilo liter," imbuhnya.
Sri Mulyani mengaku telah melaporkan situasi tersebut kepada Presiden Jokowi. Menurutnya, anggaran subsidi energi Rp502 triliun pasti akan terlewati jika kondisi ini terus berlangsung.
Jika menggunakan angka yang ditetapkan Komisi VII dan Menteri ESDM, yaitu volume 29 juta kilo liter dan kalau harga minyak terus menerus di atas US$100. Meskipun harga minyak sempat turun, Sri Mulyani mengatakan penurunan sangat tipis.
Dia bahkan memperkirakan pemerintah harus nambah lagi anggaran subsidi, bahkan bisa mencapai Rp198 triliun. Meski demikian, dia mengaku penambahan subsidi tidak akan cukup jika tak dilakukan pembatasan.
"Nambah, kalau kita tidak menaikkan [harga] BBM. Kalau tidak dilakukan apa-apa, tidak ada pembatasan. Tidak ada apa-apa, maka Rp502 triliun tidak akan cukup. Nambah lagi bisa mencapai Rp698 triliun. Itu untuk subsidi tadi solar dan pertalite saja. Saya belum menghitung LPG dan listrik," imbuhnya.
Tiga Skenario Pemerintah
Menurut Sri Mulyani, pemerintah dihadapkan pada tiga opsi atau skenario untuk mengatasi kondisi jebolnya anggaran subsidi energi.
Pertama, menaikkan anggaran subsidi hingga mendekati Rp700 triliun, seperti perhitungannya—yang akan membebani kondisi fiskal.
Kedua, mengendalikan volume konsumsi BBM, terutama pertalite dan solar. Sri Mulyani menyebut bahwa dalam opsi ini, akan terdapat ketentuan siapa yang bisa dan tidak bisa membeli BBM bersubsidi, juga terdapat pembatasan berapa banyak pembelian BBM bersubsidi oleh setiap orangnya.
"Ketiga, naikkan [harga] BBM-nya," kata Sri Mulyani.
Kombinasi dari ketiga opsi itu pun mungkin saja terjadi. Sri Mulyani menyebut bahwa ketiga opsi itu memiliki menimbulkan dampak negatif. Apalagi opsi pertama karena akan sangat membebani APBN.
"APBN jelas sekali akan sangat berat karena subsidi BBM itu sudah naik tiga kali lipat, dari Rp158 triliun ke Rp502 triliun. Itu sudah naik tiga kali lipat, ternyata masih kurang lagi," ucapnya.
Meski demikian, dia mengatakan semua keputusan akan disampaikan dalam rapat dengan komisi maupun Banggar DPR RI. Menurutnya, saat ini pemerintah sedang berkoordinasi untuk menentukan solusi terbaik terkait anggaran subsidi energi.
Dia mengatakan pemerintah berpacu dengan waktu. Pasalnya, dana subsidi terus-menerus berkurang seiring tingginya konsumsi masyarakat.
"Jadi, Pak Luhut, Pak Airlangga, saya, Pak Menteri ESDM, Pak Erick, Pertamina, PLN, semuanya sedang diminta untuk terus membuat excercise. Tentu ya, kalau semakin lama, kalau ini Agustus sudah mau habis, ya sudah nambah lagi," imbuhnya.