Bisnis.com, JAKARTA — Institute of Social, Economic, and Digital atau ISED menilai bahwa keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan suku bunga acuan merupakan antisipasi terhadap tingginya ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
Ekonom serta Co-Founder dan Dewan Pakar ISED Ryan Kiryanto menilai bahwa keputusan Rapat Dewan Gubernur BI yang menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 25 basis poin menjadi 3,75 persen sebagai keputusan yang tepat waktu dan antisipatif.
Menurutnya, langkah menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi terlihat dari sana.
"Keputusan tersebut diambil sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak [BBM] nonsubsidi dan inflasi volatile food," ujar Ryan pada Selasa (23/8/2022).
Menurutnya, kenaikan harga BBM nonsubsidi membawa dampak langsung (first round effect) dan dampak tidak langsung (second round effect) terhadap inflasi inti dan inflasi harga konsumen (IHK).
Tingginya inflasi volatile food sebagai dampak dari serangan Rusia ke Ukraina pun turut memengaruhi kondisi Indonesia.
Baca Juga
Ryan menilai bahwa BI ingin memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya. Langkah tersebut penting di tengah masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global dan pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
"Dengan demikian pengambilan keputusan betul-betul mendasarkan diri kepada asesmen faktor internal [domestik] dan eksternal [global] yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan perkiraan yang akan datang," katanya.