Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BREAKING NEWS: BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 3,75 Persen

Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 3,75 persen sesuai dengan hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (23/8/2022).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers melalui video streaming di Jakarta, Kamis (2/4/2020). Dok. Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan pers melalui video streaming di Jakarta, Kamis (2/4/2020). Dok. Bank Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di menjadi 3,75 persen.

Keputusan ini membuat Bank Indonesia menetapkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dibandingkan bulan lalu yang berasa di level 3,5 persen.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,75 persen," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG BI Bulan Agustus 2022 hari ini, Selasa (23/8/2022).

Sejalan dengan keputusan ini, Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 basis poin menjadi 3 persen dan suku bunga Lending Facility 4,5 persen.

Menurut Perry, mengatakan keputusan kenaikan suku bunga kebijakan sbgai langkah preemptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga BBM non subsidi dan inflasi volatile food.

BI juga memperkuat kebijakan stabilisasi ntr agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global

"Ke depan, tekanan inflasi IHK [indeks harga konsumen] akan meningkat, didorong masih tingginya harga pangan dan energi serta pasokan yang belum stabil," ujarnya. 

Sementara itu, Perry menyampaikan bahwa perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

“Pertumbuhan ekonomi sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan China berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya disertai dengan risiko stagflasi di sejumlah negara dan resesi di negara maju sebgai dampak dari pengetatan kebijakan moneter yang agresif,” katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper