Bisnis.com, JAKARTA – Pengembang properti dengan utang terbesar di dunia, China Evergrande Group, gagal memaparkan rencana restrukturisasi awal yang telah dijanjikan pada akhir Juli 2022. Hal ini terjadi di tengah menyebarnya krisis utang properti China ke sektor lainnya.
Dilansir Bloomberg pada Senin (1/8/2022), Evergrande memaparkan apa yang disebutnya prinsip restrukturisasi awal untuk utang luar negerinya, dalam keterbukaan kepada otoritas China pada Jumat malam.
Total utang Evergrande berencana direstrukturisasi mencapai sekitar US$300 miliar. Adapun US$20 miliar di antaranya merupakan obligasi berdenominadi dolar AS.
Pemaparan ini berbeda dari janji Evergrande awal sebelunya yang akan mengumumkan rencana restrukturisas. Hal ini juga mengecewakan investor yang telah menunggu dengan harapan proposal tersebut akan memberikan kejelasan tentang perpanjangan utang dan penjualan aset.
Sebaliknya, mereka diberitahu bahwa Evergrande akan mencoba mengumumkan rencana restrukturisasi khusus dalam tahun 2022.
Perusahaan mengatakan dalam keterbukaan hari Minggu (31/7) bahwa salah satu anak usahanya perlu menjual kepemilikan saham bank di timur laut China, setelah kalah dalam putusan arbitrase dan diwajibkan membayar sekitar 7,31 miliar yuan (US$1,1 miliar) sebagai kompensasi.
Baca Juga
Bank yang dimaksud adalah Shengjing Bank Co., di mana Evergrande telah mengurangi kepemilikan sahamnya tahun lalu.
Perkembangan di Evergrande dapat memicu kekhawatiran mengenai nasib perusahaan di masa mendatang, sekaligus mengancam sistem keuangan di China dan jutaan pemilik rumah. Sejumlah pengembang properti mencatatkan default sejak tahun lalu menyusul tindakan keras pemerintah pada leverage yang berlebihan dan spekulasi pada perumahan.
Krisis likuiditas telah mendorong pengembang untuk menghentikan proyek dan tidak membayar biaya yang seharusnya dipenuhi. Terhentinya proyek-proyek perumahan juga memicu aksi boikot pembayaran KPR oleh nasabah.
Besarnya utang Evergrande telah membuat investor global khawatir bahwa gagalnya upyaa restrukturisasi dapat memicu dampak keuangan dan mengekang pertumbuhan di ekonomi di Negeri Panda tersebut.
Co-founder J Capital Research Ltd Anne Stevenson mengatakan perkembangan terbaru dari Evergrande ini semakin mengguncang sektor properti di China.
“Keadaan sekarang menjadi lebih buruk karena krisis Evergrande setahun yang lalu, yang menyebarkan dampaknya ke seluruh ekonomi China," ungkap Stevenson seperti dikutip Bloomberg, Senin (1/8/2022).
Chief Executive Officer Evergrande Shawn Siu mengatakan bahwa Evergrande akan fokus pada penyelesaian proyek konstruksi, dan tidak akan mengorbankan kepentingan investor di China, menurut sebuah wawancara dengan 21st Century Business Herald.
Ketika ditanya mengapa rencana restrukturisasi tidak sesuai dengan ekspektasi pasar, Siu mengatakan bahwa perusahaan menghadapi masalah yang rumit dan menantang. Ia juga meminta investor untuk bersabar lebih lama.
Kepala investasi Asia di Lombard Odier Jean-Louis Nakamura mengatakan potensi kegagalan Evergrande untuk mengikuti rencana yang ditetapkan sebelumnya akan menjadi sentimen negatif bagi kepercayaan investor secara keseluruhan.
“ini proses pada langkah restrukturisasi ini salah karena akan semakin merusak kredibilitas Evergrande,”kata Nakamura.