Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan masih akan menerapkan skema berbagi beban atau burden sharing pada rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2023.
Rencana terkait skema burden sharing pada RAPBN 2023 dipaparkan Kemenkeu dalam acara Konsultasi Publik RUU APBN 2023, Senin (25/7/2022). Direktur Penyusunan APBN Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan mengatakan ada beberapa pengaturan khusus yang akan diterapkan di UU APBN 2023.
"Nah, kemudian juga tentunya di UU APBN 2023 ada beberapa hal pengaturan khusus. Artinya perlu burden sharing dengan daerah supaya APBN bisa tetap fleksibel. Termasuk antisipasi untuk keadaan darurat," ujarnya.
Beberapa hal yang menjadi pengaturan khusus yang diajukan pada RUU APBN 203, antara lain burden sharing Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) dengan subsidi energi dan kompensasi, fleksibilitas pelaksanaan APBN, dan antisipasi keadaan darurat.
Draf RUU APBN 2023 menyebutkan perihal pengaturan khusus atau burden sharing. Dikutip dari dokumen yang diterima Bisnis, pasal 19 ayat (1) menyebutkan Dalam kondisi tertentu pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap PNBP SDA yang dibagihasilkan.
Pasal 19 ayat (2) menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitugan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi energi dan/atau kompensasi terhadap kenaikan PNBP Migas SDA yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Baca Juga
Rofyanto mengatakan kondisi perekonomian pada 2023 masih diselimuti dengan ketidakpastian. Meski pandemi Covid-19 sudah terkendali, dia mengungkapkan ada beberapa hal yang membuat kondisi perekonomian global belum stabil.
Masalah yang dihadapi, lanjutnya, antara lain disrupsi supply, tensi geopolitik akibat perang Rusia vs Ukraina, dan naiknya harga-harga komoditas.
"[Hal ini membuat] beberapa negara sepertinya sudah akan kembali memasuki resesi. 2023 Amerika dan negara-negara Eropa akan memasuki resesi," imbuhnya.
Hal yang tidak terduga, kata Rofyanto, ternyata China justru mengalami perlambatan ekonomi. Dia mengatakan China yang biasanya ekonomi baik dan selalu tumbuh di atas 7 persen, jusru menerapkan aturan Zero Covid Policy yang membuat ekonomi menjadi sangat ketat.
"Nah ini dampaknya ke disrupsi supply tadi itu. Kita tahu, china produsen berbagai barang di dunia mulai alat makan, alat mandi, sampai mobil. Ekonomi China melambat, dampaknya ke supply chain," kata dia.