Bisnis.com, JAKARTA - Investasi dengan tema ESG (environmental, social and governance) saat ini marak ditawarkan oleh beragam pihak. Dari sisi permintaan, minat terhadap investasi ESG juga meningkat salah satunya akibat keinginan investor untuk berkontribusi dalam mencegah kerusakan lingkungan.
Peningkatan minat terhadap investasi ESG mendorong kondisi terjadinya aliran dana ke sektor hijau. Kondisi tersebut sejalan dengan isi salah satu pasal Perjanjian Paris 2015 pasal 2 (c) yang menginginkan adanya peningkatan aliran modal ke sektor hijau.
Dari sisi risiko, peningkatan aliran modal ke investasi ESG disebabkan oleh potensi terjadinya stranded asset pada industri energi fosil saat perekonomian mengalami proses transisi untuk mengalihkan ketergantungan dari energi fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT).
Namun, minat investor untuk berinvestasi dengan tema ESG ternyata dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk memperoleh sebagian dana investor. Misalnya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Influence Map pada 2021 terhadap 593 reksa dana dengan tema ESG, ternyata 71 persen reksa dana tersebut tidak mendukung pencapaian target Perjanjian Paris.
Penilaian tersebut dilakukan menggunakan dua kriteria, yaitu komposisi portofolio dan intensitas energi fosil dalam portofolio. Kondisi ini melahirkan istilah greenwashing yang merupakan sebuah modus untuk memberikan kesan bahwa proses yang dijalankan dalam menghasilkan produk atau jasa telah memperhatikan faktor lingkungan.
Praktik greenwashing merupakan skandal yang memanfaatkan minat investor untuk berkontribusi positif terhadap lingkungan. Misalnya, pada Mei 2022 DWS (yang merupakan unit usaha dari Deutsche Bank) diperiksa oleh otoritas keuangan Jerman akibat praktek greenwashing, di mana adanya dugaan klaim palsu DWS terkait dengan pengelolaan dana menggunakan kriteria ESG.
Baca Juga
Pada kasus lain di Amerika pada bulan yang sama, sebuah unit dari Bank of New York Mellon (BNYM) terkena denda dari otoritas keuangan Amerika akibat praktik greenwashing pada reksa dana ESG yang dikelola oleh unit BNYM.
Praktik greenwashing tidak hanya terjadi pada sektor keuangan, tetapi juga dapat terjadi pada sektor nonkeuangan. Misalnya, tahun lalu sebuah perusahaan minuman ringan global diduga telah menjalankan praktik greenwashing dengan mengklaim bahwa sebagian bahan kemasan botol minuman menggunakan sampah plastik yang ditemukan di laut.
Namun, klaim tersebut tidak mengungkapkan secara lengkap kondisi sebenarnya karena perusahaan minuman tersebut merupakan penyumbang sampah plastik terbesar di dunia.
Tema ESG merupakan isu yang kompleks dan tergolong sebagai isu yang relatif baru. Kebaruan isu ESG menyebabkan tidak adanya standardisasi terkait klaim ESG. Kondisi ini mendorong terjadinya keragaman sudut pandang terkait klaim ESG.
Namun, keragaman tersebut tidak menjadi pembenaran terjadinya praktik greenwashing karena merupakan suatu bentuk kejahatan dengan cara membuat klaim palsu diseputar lingkungan.
Greenwashing merupakan masalah besar yang membuat investor dan konsumen merasa telah berkontribusi untuk menjaga lingkungan, tetapi kenyatannya sama sekali tidak. Hal ini akan berdampak buruk bagi lingkungan karena kerusakan lingkungan akan terus terjadi tanpa disadari oleh investor dan konsumen.
Saat mereka menyadari kondisi yang sesungguhnya, maka hal tersebut sudah terlambat karena perbaikan kerusakan lingkungan memerlukan waktu yang sangat lama (yang terburuk jika kerusakan lingkungan bersifat permanen).
Kompleksnya isu ESG juga dapat terlihat pada kejadian beberapa bulan lalu, di mana pengelola sebuah indeks global mengeluarkan produsen mobil elektrik Tesla dari indeks ESG 500, tetapi pada saat yang sama memasukkan perusahaan energi fosil ExxonMobil ke dalam indeks. Kondisi ini mungkin akan membuat sebagian investor akan berpikir bagaimana kriteria penentuan sebuah perusahaan dapat masuk kategori ESG.
Investasi ESG tidak hanya menekankan pada isu lingkungan tetapi juga pada isu sosial dan isu tata kelola. Berdasarkan penjelasan dari pengelola indeks, keluarnya Tesla dari indeks ESG disebabkan kegagalan Tesla dalam penanganan masalah diskriminasi karyawan dan buruknya lingkungan kerja di pabrik. Walau Tesla unggul pada isu lingkungan melalui usahanya untuk mengurangi emisi dengan memproduksi mobil elektrik, tetapi pada isu sosial dan isu tata kelola, Tesla memiliki nilai negatif.
Momentum kenaikan investasi ESG merupakan hal positif karena dapat membantu merealisasikan transisi dari ketergantungan pada energi fosil menuju ketergantungan pada EBT. Guna menjaga momentum ini dari keruntuhan akibat praktik greenwashing maka diperlukan adanya standardisasi global terkait pengungkapan informasi terkait ESG dan klaim ESG.
Adanya standarisasi tersebut akan membuat tersedianya informasi ESG yang seragam bagi investor sehingga investor tidak menghadapi informasi dan klaim ESG dengan beragam standar.
Saat ini, perlombaan usaha untuk melakukan standardisasi ESG telah diikuti oleh beberapa organisasi. Dari beberapa organisasi tersebut, satu nama tampak menonjol yaitu International Sustainability Standards Board (ISSB) yang terbentuk dari hasil penyelenggaraan COP 26 di Glasglow, Inggris. ISSB menjanjikan untuk melakukan standarisasi ESG global. Kita nantikan saja kiprah ISSB dalam membuat standarisasi ESG sehingga dapat mencegah praktik greenwashing.