Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Dewa Putra Krishna Mahardika

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Telkom

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Mewaspadai Klaim Investasi ESG

Momentum kenaikan investasi ESG merupakan hal positif karena dapat memban­tu merealisasikan transisi dari ketergantungan pada energi fosil menuju ketergan­tungan pada EBT.
Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Bisnis.com, JAKARTA - Investasi dengan tema ESG (environmental, social and governance) saat ini marak di­ta­war­kan oleh be­ra­gam pihak. Dari sisi permintaan, minat ter­ha­dap investasi ESG juga me­­ning­kat salah satunya aki­bat ke­inginan investor un­tuk ber­kon­tribusi dalam men­cegah ke­ru­sak­an lingkungan.

Peningkatan minat terhadap investasi ESG mendorong kondisi terjadinya aliran dana ke sektor hijau. Kondisi tersebut sejalan dengan isi salah satu pasal Perjanjian Paris 2015 pasal 2 (c) yang menginginkan adanya peningkatan aliran modal ke sektor hijau.

Dari sisi risiko, peningkatan aliran modal ke investasi ESG disebabkan oleh potensi terjadinya stranded asset pada industri energi fosil saat perekonomian mengalami proses transisi untuk mengalihkan ketergantungan dari energi fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT).

Namun, minat investor untuk berinvestasi de­ngan tema ESG ternyata diman­faat­­kan oleh beberapa oknum unt­uk memperoleh sebagian dana investor. Misalnya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Influence Map pada 2021 terhadap 593 reksa dana dengan tema ESG, ternya­ta 71 persen reksa dana tersebut tidak mendukung pencapaian target Perjanjian Paris.

Penilaian tersebut dilakukan menggunakan dua kriteria, yaitu komposisi portofolio dan intensitas energi fosil dalam portofolio. Kondisi ini melahirkan istilah greenwashing yang merupakan sebuah mo­dus untuk memberikan kesan bahwa proses yang dijalankan dalam menghasilkan produk atau jasa telah memperhatikan faktor lingkungan.

Praktik greenwashing me­ru­pa­kan skandal yang me­ma­n­faatkan minat investor un­tuk berkontribusi positif terhadap lingkungan. Mi­sal­nya, pada Mei 2022 DWS (yang merupakan unit usaha da­ri Deutsche Bank) diperik­sa oleh otoritas keuangan Jer­man akibat praktek greenwashing, di mana adanya du­ga­an klaim palsu DWS terkait dengan pengelo­laan dana meng­gunakan kriteria ESG.

Pada kasus lain di Amerika pada bulan yang sama, sebuah unit dari Bank of New York Mellon (BNYM) terkena den­da dari otoritas keuangan Amerika akibat praktik green­washing pada reksa dana ESG yang dikelola oleh unit BNYM.

Praktik greenwashing tidak hanya terjadi pada sektor ke­­­uang­an, tetapi juga dapat ter­jadi pada sektor nonkeuang­an. Misalnya, tahun lalu se­buah perusahaan minuman ring­an global diduga telah men­ja­lan­kan praktik greenwashing de­ngan mengklaim bah­wa sebagian bahan ke­mas­an botol minuman meng­gunakan sampah plastik yang ditemukan di laut.

Na­mun, klaim tersebut tidak me­ng­ungkapkan secara leng­kap kondisi sebenarnya karena perusahaan minuman tersebut merupakan penyumbang sampah plastik terbesar di dunia.

Tema ESG merupakan isu yang kompleks dan tergolong sebagai isu yang relatif baru. Kebaruan isu ESG menyebabkan tidak adanya standardisasi terkait klaim ESG. Kondisi ini mendorong terjadinya keragaman sudut pandang terkait klaim ESG.

Namun, keragaman tersebut tidak menjadi pembenaran terjadinya praktik greenwashing karena merupakan suatu bentuk kejahatan dengan cara membuat klaim palsu diseputar lingkungan.

Greenwashing merupakan masalah besar yang membuat investor dan konsumen merasa telah berkontribusi untuk menjaga lingkungan, tetapi kenyatannya sama sekali ti­dak. Hal ini akan berdampak buruk bagi lingkungan ka­re­na kerusakan lingkungan akan terus terjadi tanpa disada­ri oleh investor dan konsumen.

Saat mereka menyadari kon­di­si yang sesungguhnya, ma­ka hal tersebut sudah ter­lam­bat karena perbaikan ke­ru­sakan lingkungan memerlu­kan waktu yang sangat la­ma (yang terburuk jika k­e­ru­­sakan lingkungan bersifat per­manen).

Kompleksnya isu ESG juga dapat terlihat pada kejadian beberapa bulan lalu, di mana pengelola sebuah indeks global mengeluarkan produsen mobil elektrik Tesla dari indeks ESG 500, tetapi pada saat yang sama memasukkan perusahaan energi fosil ExxonMobil ke dalam indeks. Kondisi ini mungkin akan membuat sebagian investor akan berpikir bagaimana kriteria pe­nentuan sebuah perusahaan dapat masuk kategori ESG.

Investasi ESG tidak hanya menekankan pada isu lingkungan tetapi juga pada isu sosial dan isu tata kelola. Berdasarkan penjelasan dari pengelola indeks, keluarnya Tesla dari indeks ESG disebabkan kegagalan Tesla dalam penanganan masalah diskriminasi karyawan dan buruknya lingkungan kerja di pabrik. Walau Tesla unggul pada isu lingkungan melalui usahanya untuk mengurangi emisi dengan memproduksi mobil elektrik, tetapi pada isu sosial dan isu tata kelola, Tesla memiliki nilai negatif.

Momentum kenaikan investasi ESG merupakan hal positif karena dapat memban­tu merealisasikan transisi dari ketergantungan pada energi fosil menuju ketergan­tungan pada EBT. Guna men­jaga momentum ini dari ke­run­tuhan akibat praktik greenwa­shing maka diperlukan adanya stan­dardisasi global terkait pengungkapan informasi terkait ESG dan klaim ESG.

Adanya standarisasi tersebut akan membuat tersedianya informasi ESG yang seragam bagi investor sehingga investor tidak menghadapi informasi dan klaim ESG dengan beragam standar.

Saat ini, perlombaan usaha untuk melakukan standardisasi ESG telah diikuti oleh beberapa organisasi. Dari beberapa organisasi tersebut, satu nama tampak menonjol yaitu International Sustainability Standards Board (ISSB) yang terbentuk dari hasil penyelenggaraan COP 26 di Glasglow, Inggris. ISSB menjanjikan untuk melakukan standarisasi ESG global. Kita nantikan saja kiprah ISSB dalam membuat standarisasi ESG sehingga dapat mencegah praktik greenwashing.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper