Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah membahas penghiliran produk kelapa sawit, antara lain usulan pembangunan pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak makan merah (red palm oil/RPO) mini berbasis koperasi.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop-UKM) Teten Masduki mengatakan bahwa upaya tersebut dilakukan sebagai salah satu solusi untuk menyerap tandan buah segar (TBS) dari petani sawit yang terkadang sulit dijual, harganya rendah, atau petani tidak punya teknologi pengolahan untuk menjadi CPO dan RPO.
"Pak Presiden [Jokowi] tadi sudah menyetujui untuk pembangunan minyak makan merah berbasis koperasi. Ini saya kira akan menjadi solusi karena 35 persen produksi sawit atau CPO ini berasal dari petani mandiri, petani swadaya. Kalau dilihat dari luas lahannya 41 persen lebih. Jadi ini cukup," ujarnya usai rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (187/2022), dikutip dari keterangan resmi.
Selain itu, Teten juga menilai bahwa hal itu menjadi solusi bagi distribusi suplai minyak makan ke masyarakat. Lebih dari itu, sambungnya, minyak makan merah diketahui menyehatkan serta memiliki kandungan protein dam vitamin A yang tinggi.
Menkop UKM menambahkan bahwa saat ini teknologi produksi untuk minyak makan merah sudah dirancang oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Kota Medan. Dia berharap PPKS dapat segera membuat detail engineering design (DED) sehingga mesin tersebut bisa segera diproduksi untuk menjadi proyek pilot.
"Nanti kita akan putuskan [pilotnya di mana], tapi salah satunya ya tentu Sumatra, Kalimantan, tapi ada koperasi-koperasi, yang juga secara keuangan mereka bisa membangun sendiri dengan keuangan, dan mereka juga kan koperasi ini punya anggota cukup besar dan anggotanya juga UMKM. Jadi saya optimistis minyak makan merah ini karena sehat dan juga bisa lebih murah, ini bisa diterima oleh pasar," ungkap Teten.
Baca Juga
Lebih lanjut, Kemenkop UKM mengusulkan kepada Kepala Negara agar pada Januari 2023 pembangunan pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi ini sudah dimulai. Teten menargetkan PPKS bisa menyelesaikan DED-nya paling lambat pada Agustus 2022. Apabila telah selesai, sambungnya, maka bisa langsung masuk ke tahap produksi dengan melibatkan BUMN maupun swasta.
Butuh Investasi Rp23 Miliar
Teten menjelaskan bahwa satu pabrik CPO dan RPO mini membutuhkan investasi sebesar Rp23 miliar dengan return of investment (ROI) 4,3 tahun. Menurutnya, investasi tersebut dimanfaatkan untuk memproduksi 10 ton minyak makan merah per hari.
Adapun, untuk investasinya bisa diintegrasikan dengan working capital, dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dengan bunga 5 persen, sedangkan mesinnya bisa dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan untuk pengembangan sawit di on-farm bisa dengan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Himbara.
"Jadi dalam model kami si koperasi membeli tunai sawitnya, TBS-nya dari petani sehingga si petani itu tidak lagi dipusingkan harus menjual sawitnya ke mana. Lalu koperasi mengolahnya menjadi CPO dan menjadi RPO dan kemudian mereka pasarkan. Kalau ini terintegrasi dengan program [pengurangan] stunting, juga misalnya PTPN menjadi offtaker ya, selain juga petani bisa menjual sendiri," lanjutnya.
Untuk mencapai target produksi 10 ton per hari, Teten menjelaskan bahwa sawit yang dibutuhkan sekitar 50 ton per hari atau 1.000 hektare. Untuk itu, pemerintah menargetkan agar setiap 1.000 hektare lahan sawit terdapat satu pabrik CPO dan RPO mini.
"Sekarang sudah ada sebenarnya beberapa koperasi petani sawit yang luasan lahannya di atas 1.000 hektare. Ini sudah siap, baik yang di Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. Tapi Pak Presiden sekali lagi minta piloting dulu. Ini juga kami nanti akan kerja samakan juga dengan PTPN," ucapnya.
Di akhir keterangannya, Teten menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah sebagai solusi atas dua hal, yakni stabilitas harga TBS petani dan suplai minyak goreng. Teten berharap dengan adanya pabrik CPO dan RPO berbasis koperasi, kesejahteraan petani sawit bisa membaik.
"Ya ini optimalisasi jadi hilirasi sawit rakyat yang selama ini mereka jual sawitnya ke industri. Mereka selalu ada problem dengan harga TBS yang tidak stabil, atau mereka terlambat diserap itu susut 20 persen kan semalam, sehingga petani dirugikan. Kalau sekarang petani mengolahnya sendiri dengan punya pabrik pengolahan CPO dan RPO-nya, saya kira nilai tukar petani akan baik, kesejahteraan petani akan lebih baik," tandasnya.