Bisnis.com, JAKARTA — Center of Reform on Economics atau Core Indonesia menilai bahwa insentif bukan merupakan pertimbangan nomor satu bagi investor untuk mau menempatkan dananya di dalam negeri. Hal yang jauh lebih utama untuk menarik investasi adalah iklim usaha seperti pemulihan ekonomi, kepastian regulasi, hingga penanganan korupsi.
Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet, sebagai respons atas masih rendahnya pemanfaatan fasilitas investment allowance. Menurutnya, pemanfaatan insentif yang masih rendah menjadi cerminan masih adanya pengganjal bagi investor untuk masuk ke Indonesia.
"Insentif investasi, terutama dalam bentuk insentif pajak memang penting, tetapi yang tidak boleh dilupakan bahwa insentif merupakan pertimbangan kesekian yang dilihat oleh investor. Pertimbangan yang tidak kalah penting adalah bagaimana misalnya iklim usaha di negara tersebut," ujar Yusuf kepada Bisnis, Selasa (13/7/2022).
Dia menjelaskan bahwa iklim usaha sangat berkaitan dengan prospek pertumbuhan ekonomi di negara terkait. Indonesia sendiri berhasil mencatat kinerja perekonomian yang cukup stabil selama pandemi Covid-19, karena mampu tumbuh baik pada 2021 dan kuartal I/2022.
Lalu, iklim usaha juga berkaitan dengan kemudahan pelaku usaha dalam mendapatkan bahan baku untuk mendirikan suatu industri. Akses informasi dan kesiapan infrastruktur menjadi faktor kunci untuk menarik investor masuk ke Indonesia.
Indonesia masih memiliki sejumlah permasalahan yang menjadi hambatan iklim investasi, misalnya perizinan yang masih rumit. Sistem online single submission (OSS) pun tercatat belum berjalan efektif karena masih menyimpan berbagai masalah.
Baca Juga
Selain itu, persoalan lainnya seperti korupsi, yang masih terjadi di berbagai tingkatan bisa membuat investor berpikir berulang kali untuk masuk ke Indonesia karena bisa mengurangi margin bisnisnya. Masalah itu perlu diatasi dengan serius oleh pemerintah.
"Saya kira rule of thumb-nya masih sama, artinya untuk menarik investasi diperlukan kebijakan di semua lini, terutama untuk melanjutkan proses reformasi struktural dan memastikan regulasi yang ada bisa berjalan tanpa ada perubahan yang sangat signifikan," kata Yusuf.
Adapun, investment allowance tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya. Aturan itu berlaku sejak Maret 2020.
Insentif tersebut berlaku selama enam tahun sejak tahun pajak saat mulai berproduksi, dengan pengurangan penghasilan neto masing-masing 10 persen per tahun. Penanaman modal di industri padat karya bisa memperoleh insentif pengurangan penghasilan neto sebesar 60 persen dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencatat bahwa pada 2020 hanya dua wajib pajak yang mengajukan fasilitas investment allowance. Tahun berikutnya, hanya tiga wajib pajak yang memanfaatkan insentif itu.