Bisnis, JAKARTA — Mahalnya harga rumah di kota besar Indonesia sebenarnya bukan kabar baru. Alih-alih harga makin terjangkau dan diikuti dengan peningkatan daya beli, kondisi yang terjadi justru sebaliknya.
Berita tentang polemik harga rumah yang makin mahal dan tak terjangkau menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id
Berikut ini highlight Bisnisindonesia.id, Senin (11/7/2022):
Pandemi Covid-19, transisi energi, dan konflik antarnegara bisa menjadi ancaman bagi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Jika tidak disikapi dengan bijak, bukan tidak mungkin ketiga isu tersebut akan menyebabkan krisis energi.
Berkaca dari krisis energi yang sempat terjadi di sejumlah kawasan, keberadaan energi fosil nyatanya masih sangat dibutuhkan meskipun desakan untuk mempercepat bauran energi yang lebih ramah lingkungan terus dikumandangkan.
Pada akhirnya, terjadi tarik menarik investasi antara energi fosil dan EBT. Industri hulu migas pun dihadapkan pada persoalan penurunan produksi dan investasi.
Memiliki rumah tentu menjadi sebuah impian bagi setiap orang. Namun memang untuk kalangan tertentu memiliki rumah sulit terjangkau sehingga membutuhkan upaya yang luar biasa.
Hal ini dikarenakan harga rumah yang terus melambung setiap tahunnya yang tak seiring dengan perolehan pendapatan.
Menurut 99 Group Indonesia, meski suku bunga kredit sedang sangat rendah, selalu ada potensi kenaikan harga properti terutama untuk residensial paling tidak sebesar 10 persen sampai 15 persen per tahun.
Pasalnya, terjadinya inflasi properti seperti harga bahan bangunan yang naik sehingga berdampak pada ongkos produksi rumah. Lalu, kenaikan harga properti juga dikarenakan semakin terbatasnya lahan.
Setelah hampir 20 tahun dikelola bersama PT Pertamina (Persero) melalui skema Badan Operasi Bersama PT Bumi Siak Pusako—Pertamina Hulu Energi, mulai 9 Agustus nanti blok minyak dan gas bumi Coastal Plains and Pekanbaru atau CPP sepenuhnya akan dikelola BUMD Riau itu.
Dalam sejarahnya sepanjang dikelola BOB, produksi minyak mentah Blok CPP dengan luas area 9.866 kilometer persegi itu pernah mencapai 35.000 bph pada saat pertama kali diterima dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 2002. Namun, produksi terus menurun hingga menjadi 8.455 bph pada 2021.
PT BSP menargetkan produksi siap jual atau lifting minyak mentah di Blok CPP bisa mencapai 40.000-an barel per hari (bph) pada 2030 nanti. Artinya, dalam 8 tahun ke depan BUMD Riau itu harus mengejar tambahan produksi minyak sekitar 31.500 bph.
Meski peluang ekspor hasil perikanan dan produk olahannya ke berbagai belahan dunia makin terbuka lebar di tengah ancaman krisis pangan global tetapi pemenuhan syarat yang ditetapkan negara tujuan harus tetap jadi perhatian.
Salah satu syarat umum yang diterapkan negara tujuan ekspor perikanan saat ini terkait asal usul komoditas dikirim terkait produk ramah lingkungan dan keamanan konsumsinya
Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan sistem pemenuhan syarat tersebut yang bisa dipenuhi kalangan pelaku usaha perikanan dengan lebih mudah dan tepat sasaran.
Agar aktivitas ekspor lancar diterima negara tujuan KKP mendorong penggunaan Sistem Ketertelusuran dan Logistik Ikan Nasional (Stelina) yang akan memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi syarat ketertelusuran ekspor perikanan sekaligus menutup celah IUU Fishing atau pencurian ikan.
Indonesia kembali menunjukkan komitmennya dalam penerapan ekonomi hijau yang ramah lingkungan, bahkan menjadi pelopor ‘net zero’ (nol emisi karbon) di industri pariwisata tingkat Asia Tenggara (Asean).
Hal itu sejalan dengan diluncurkannya Program ‘Towards Climate Positive Tourism Through Decarbonization And Eco-Tourism’ yang mencakup peluncuran platform untuk melakukan ‘carbon offset (pelunasan karbon), lima kawasan destinasi proyek percobaan (pilot project) rendah karbon (low carbon), dan deklarasi menurunkan karbon emisi di sektor pariwisata.
Dengan menghitung jejak karbon, maka memungkinkan wisatawan menyalurkan sejumlah dana guna mendukung berbagai program pilihan, seperti penanaman pohon, energi terbarukan, atau pengembangan ekowisata.