Bisnis.com, JAKARTA – Komisi V DPR menilai pelaksanaan tol laut belum optimal. Keterlambatan pengiriman barang serta dampaknya yang minim terhadap penurunan harga dinilai menjadi faktor mengapa program andalan Presiden Joko Widodo itu masih perlu dioptimalkan.
Anggota Komisi V DRP Fraksi Partai Gerindra Sudewo menyebut sering mendapatkan keluhan dari daerah yang dilalui oleh trayek tol laut. Dia menilai keterlambatan pengiriman barang oleh operator menyebabkan pemanfaatan barang/komoditas asli daerah yang dilalui tol laut kurang optimal.
"Misalnya di Morotai terasa jauh dari harapan karena banyak produksi ikan, kelapa, dan kopra di sana menjadi tidak bisa dimanfaatkan secara baik karena ada keterlambatan pengiriman," tuturnya saat rapat bersama Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Senin (5/7/2022).
Untuk itu, Sudewo menilai jumlah kapal dan trayek tol laut perlu ditambah. Hal itu karena banyak daerah yang disebut belum terlayani oleh tol laut.
Saat ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub mencatat terdapat lebih dari 30 trayek tol laut yang beroperasi. Untuk pengoperasiannya, kapal laut dan kapal perintis (sekaligus angkutan darat) dimanfaatkan guna mengirimkan barang dari pangkalan hingga tempat tujuan.
Di sisi lain, Anggota Komisi V DPR Fraksi PKS Sigit Sosiantomo bahkan menilai program tol laut gagal. Menurutnya, tol laut gagal mengatasi disparitas harga barang serta ketersediaan barang di wilayah Indonesia Timur.
Baca Juga
Sigit menyebut ada tiga alasan mengapa proyek yang diluncurkan sejak 2015 itu perlu dievaluasi. Pertama, indeks kemahalan konstruksi atau IKK BPS yang ada di Papua dan Maluku hingga saat ini menunjukkan tol laut tak mampu mengatasi disparitas harga.
Kedua, kontribusi tol laut kepada ekonomi daerah dinilai masih rendah.
"Itu diakui Presiden loh, kontribusi tol laut dibandingkan moda lain adalah yang paling rendah. Ketiga, tidak bisa menurunkan biaya logistik yang diakui Menkeu bahwa biaya logistik di Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN," tuturnya melalui keterangan resmi.
Di sisi lain, Sigit menyebut terdapat indikasi terjadinya penyimpangan pada program tol laut berdasarkan temuan kelebihan pembayaran subsidi kepada operator. Hal tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK pada semester II/2020.
"Tak hanya gagal, BPK juga mengindikasi terjadi penyimpangan di program tol laut ini dengan temuan adanya kelebihan pembayaran subsidi kepada operator," terangnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Arif Toha pun mengakui terdapat berbagai kendala yang masih dialami program tol laut. Menurutnya, muatan balik tol laut masih jauh lebih rendah dari muatan yang berangkat khususnya dari daerah yang terpencil.
Berdasarkan data per Juni 2022, terdapat rasio sekitar 36 persen antara muatan balik sebesar 3.304 TEUs dari muatan berangkat sebesar 9.014 TEUs, pada 28 trayek tol laut yang menggunakan kapal pelayaran.
Kemudian, disparitas antara muatan balik dan berangkat bahkan lebih lebar apabila dilihat pada lima trayek tol laut (T-22 sampai dengan T-26) yang dititipkan dengan menggunakan kapal penyeberangan milik ASDP, dengan tujuan daerah terjauh seperti Biak, Timika, dan Merauke. Dihitung dengan satuan tonase (ton), muatan balik tercatat 0 ton dari muatan berangkat 395 ton.
"Di daerah Papua, industri belum tumbuh dengan baik. Tentu kita akan [koordinasi dengan kementerian terkait] karena tidak bisa sendiri," ujar Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub Arif Toha.
Kendati demikian, dia memaparkan terdapat setidaknya delapan daerah yang dilalui tol laut dengan perubahan harga paling signifikan selama 2021. Harga sejumlah komoditas seperti pakaian, harga baja, alat tulis, pupuk, gula, daging ayam, tepung, dan lain-lain turun sebesar kisaran 21 sampai dengan 50 persen.
Daerah-daerah tersebut meliputi Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Tidore Kepulauan, Kabupaten Buru, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Supiori, dan Kabupaten Fakfak.