Bisnis.com, JAKARTA — Tim ekonom Goldman Sachs Group Inc. baru-baru ini memberi peringatan bahwa risiko resesi di Amerika Serikat berpeluang meningkat.
Dalam catatan penelitian yang dilansir dari Bloomberg, Goldman Sachs melihat adanya 30 persen kemungkinan resesi hingga tahun depan, naik 15 persen dari sebelumnya.
Hal tersebut menyiratkan kemungkinan kumulatif 48 persen dalam dua tahun ke depan, dibandingkan sebelumnya sebesar 35 persen.
“Kami sekarang melihat risiko resesi sebagai beban yang lebih tinggi," ujar Kepala Tim Ekonom Goldman Sachs, Jan Hatzius kepada Bloomberg, Selasa (21/6/2022).
Alasannya, jalur pertumbuhan baseline yang kini semakin rendah, serta adanya kekhawatiran bahwa The Fed akan merespon inflasi utama yang tinggi. Selain itu, ekspektasi inflasi konsumen akan terjadi apabila harga energi naik ke depannya.
Bank Sentral AS atau Federal Reserve tengah melakukan langkah hawkish demi pengetatan moneter, yaitu dengan menaikkan suku bunga terbesar sejak 1994.
Baca Juga
“Satu kekhawatiran tambahan kali ini adalah bahwa respons kebijakan fiskal dan moneter mungkin lebih terbatas dari biasanya,” imbuh Hatzius.
Resesi yang disebabkan oleh kebijakan pengetatan moneter dianggap para ekonom sebagai sesuatu yang dangkal. Meski begitu, resesi yang terjadi telah mencatatkan tingkat pengangguran yang meningkat dengan persentase rata-rata 2,5 poin.
Dalam konferensi pers Rabu lalu, Chairman Federal Reserve Jerome Powell menyatakan pihaknya tidak mencoba mengurangi resesi.
“Kami tidak mencoba untuk mengurangi resesi sekarang. Mari kita perjelas tentang itu," kata Powell dilansir dari Market Watch, Selasa (21/6/2022).
Sejumlah ekonom pun buka suara terkait dengan kebijakan The Fed saat ini.
Mantan Presiden Federal Reserve of Richmond, Jeffrey Lacker menuturkan, Powell menimbulkan kesan bahwa The Fed bersedia menanggung risiko resesi yang lebih besar demi menurunkan inflasi.
Sementara itu, Kepala Ekonom MFR Inc, Josh Shapiro berpendapat inflasi tidak mudah dijinakkan.
“Akan sangat sulit berjalan di garis antara menjinakkan inflasi dan pada saat yang sama tidak menjatuhkan ekonomi ke dalam resesi,” ujarnya.
Senada, Kepala Ekonom di FAO Economics, Robert Brusca juga menilai ekonomi menuju resesi yang lebih cepat daripada sebelumnya.