Bisnis.com, JAKARTA – PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menilai integrasi tarif layanan KRL di sistem transportasi Jakarta atau JakLingko masih harus menyesuaikan dengan aturan dari Kementerian Perhubungan.
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo menjelaskan persoalan yang masih menjadi tantangan agar KAI Commuter juga bisa masuk dalam integrasi tarif saat ini adalah terkait dengan perbedaan aturan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah soal pemberian Public Service Obligation (PSO) atau subsidi.
Saat ini, subsidi KAI Commuter diberikan oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini diatur oleh Kemenhub. Hal ini berbeda dengan moda transportasi di Jakarta lainnya yang siap terintegrasi, seperti Transjakarta, LRT Jabodebek, dan MRT Jakarta yang bersumber dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
KAI pun harus berkomunikasi dengan Kemenhub terlebih dahulu terkait mekanisme pemberian PSO ke depannya apabila sistemnya terintegrasi dengan moda transportasi lainnya di Jakarta.
“Integrasi tarif, KAI juga terkait dengan aturan PSO Kemenhub. Untuk transportasi Jabodetabek ini PSO kemenhub. Kami komunikasi dengan Kemenhub untuk bisa juga memohon integrasi. Jadi harapannya semua yang ada di Jabodetabek akan bergabung dalam sistem,” ujarnya, Rabu (15/6/2022).
KAI tidak menargetkan secara spesifik hingga kapan persoalan ini akan menemui titik terangnya. Didiek hanya menyebut pengintegrasian secara kelembagaan dan tarif masih berproses.
Baca Juga
“Dalam proses ini, tapi memang kan makanya ada Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek [MITJ]. Nanti melalui mekanisme itu,” imbuhnya.
Sebagai gambaran, dampak integrasi layanan transportasi Jakarta harus melalui tahap akuisisi Kereta Commuter Indonesia (KCI) oleh PT MRT Jakarta. Hal ini bisa membuat KAI Commuter kehilangan dana PSO yang selama ini menjadi sumber pendanaan bagi operasi kereta listrik(KRL).
Hal ini diutarakan oleh Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio yang menilai status badan usaha hasil akuisisi tersebut tentunya bukan lagi termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). KAI pun tak lagi bisa menerima PSO untuk operasi KCI.
Seperti diketahui, dalam akuisisi PT KAI dan PT MRT Jakarta sepakat melahirkan perusahaan baru bernama PT MITJ yang ditunjuk sebagai pelaksana integrasi moda transportasi.
Status perusahaan tersebut nantinya justru tergolong Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan komposisi saham MRT yang lebih besar yakni 51 persen dibandingkan dengan KCI sebesar 49 persen. Belum lagi operasi KRL di wilayah Jabodetabek, pemprov DKI Jakarta, tak mungkin mengandalkan subsidi di daerah Bodetabek (Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang) dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang lebih minim dibandingkan dengan DKI Jakarta.
“Pendanaan PSO-nya juga dari mana, nggak mungkin kalau meminta dari Bodetabek,” ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang membenarkan pemberian dana PSO dari pemerintah pusat hanya berlaku bagi perusahaan BUMN dan bukannya kepada BUMD.
Deddy juga menilai adanya pemborosan biaya investasi dan modal kerja apabila membentuk korporasi-korporasi baru, sedangkan biaya pemeliharaan pelayanan transportasi selalu mahal. Kapitalisasi pelayanan sebagai akibat MRTJ membeli saham KCI dari dana pinjaman. pun akan terjadi.
Deddy menilai sejumlah produk peraturan perundangan akan saling berbenturan apabila rencana akuisisi tetap dilanjutkan. Diantaranya masih berlaku Perpres No 83 Tahun 2011 tentang Penugasan kepada KAI untuk menyelenggarakan Prasarana dan Sarana KA Bandara dan Jalur Lingkar Jabodetabek
Nantinya, sambungnya, MITJ sebagai BUMD yang mengelola 72 stasiun KCI di Jabodetabek akan berhadapan dengan regulasi BMN yang diatur oleh Kemenkeu. Terlebih, secara umum, kata dia, hasil Rapat Terbatas Presiden 8 Januari 2019 lalu bukanlah produk hukum untuk mengakuisisi KCI.
“Dengan banyaknya kelemahan dan ancaman, maka tidak layak akuisisi saham mayoritas KAI di KCI oleh MRTJ yang akan spin off di MITJ . Antar semua stakeholder pengelola dan penyelenggara transportasi Jabodetabek lebih baik fokus kepada pelayanan integrasi transportasi publik daripada fokus akuisisi saham untuk kapitalisasi korporasi,” tekannya.