Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menyatakan bahwa penerapan pajak karbon akan berlaku efektif pada 1 Juli 2022. Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyebut implementasi pajak karbon berpotensi terlambat karena penyusunan aturan belum kunjung rampung.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa pajak karbon akan berlaku bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Penerapan pajak berdasarkan kepada batas emisi (cap and tax), artinya PLTU membayar pajak untuk emisi di atas batas.
Dia menyebut bahwa pajak karbon akan berlaku mulai 1 Juli 2022 dan yakin akan berjalan baik. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon semestinya berlaku pada 1 April 2022.
"Awalnya kan [aturan pajak karbon] memang akan berlaku 1 April 2022, terus ditunda ke 1 Juli 2022, memang dengan syarat semua regulasi pendukungnya sudah siap. Sekarang sedang penyelesaian," ujar Dadan kepada Bisnis, Kamis (2/6/2022).
Dia menjelaskan bahwa sejumlah pengelola PLTU sudah bersiap untuk membayar pajak karbon ketika aturannya berlaku. Hal tersebut karena pemerintah telah melakukan uji coba perdagangan karbon bersama 32 unit PLTU batu bara, yakni 14 unit sebagai pembeli (buyer) dan 18 unit sebagai penjual (seller).
"Kami sudah lakukan uji coba [dengan PLTU] pada 2021," ujar Dadan.
Baca Juga
Sebelumnya, Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengakui memang terdapat keterlambatan implementasi pajak karbon dari rencana awal. Pemerintah saat ini sedang mematangkan regulasi pajak karbon agar dapat segera berlaku.
"Memang sedikit delay. Kami sedang bekerja keras menyelesaikan regulasinya dengan Badan Kebijakan Fiskal [BKF]. Ini juga ada menentukan nilai ekonomis karbon, yang sedang disiapkan, kita tunggu saja," ujar Yoga pada pekan lalu.
Kepala BKF Febrio Nathan Kacaribu menyebut bahwa implementasi pajak karbon bukan hanya mengacu kepada UU HPP. Instrumen pajak itu pun berkaitan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Perpres itu mengatur tentang nilai ekonomi karbon, yang salah satu instrumennya berkaitan dengan implementasi pajak karbon. Menurut Febrio, rangkaian kebijakan itu bertujuan untuk menjaga aktivitas ekonomi dapat selaras dengan upaya menekan emisi karbon dan menangani persoalan krisis iklim.
Berbagai regulasi itu berlaku sesuai kerangka kebijakan fiskal Climate Change Fiscal Framework, yang bertujuan mencapai penurunan emisi karbon. Setiap tahunnya terdapat alokasi biaya untuk menekan emisi karbon.