Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian PUPR berencana menaikkan harga rumah subsidi sebesar 7 persen pada tahun ini, setelah harga rumah subsidi tetap stabil selama tiga tahun.
Rencana kenaikan harga rumah tersebut disebabkan adanya kenaikan harga material bangunan yang mengerek biaya pembangunan rumah bersubsidi menjadi lebih mahal.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengamini bahwa kenaikan harga rumah subsidi akan memberatkan konsumen. Akan tetapi, menahan harga jual rumah subsidi akan memberatkan pengembang.
“Setiap kenaikan pastinya bisa memberatkan konsumen, namun kalau harga rumah subsidi tidak dinaikan, banyak pengembang yang tidak mau membangun karena pastinya tidak menarik,” ujar Ali kepada Bisnis, Senin (16/05/2022).
Ali mencatat, sebagian besar pengembang rumah subsidi telah beralih ke rumah komersial.
“Karena margin profit sangat kecil, saat ini 8 dari 10 pengembang rumah subsidi sudah beralih ke rumah komersial,” ungkap Ali.
Menurut Ali, untuk mengatasi masalah terkait profit pengembang dengan target harga rumah subsidi, diperlukan peran pemerintah dalam menyediakan lahan untuk pembangunan rumah subsidi.
“Karenanya saya selalu mendorong adanya penyediaan bank tanah dari pemerintah. Public housing seperti ini seharusnya menjadi tanggung jawab oemerintah untuk membangunnya,” tegasnya.
Jika pembangunan rumah subsidi dilimpahkan sepenuhnya kepada pihak swasta, Ali menuturkan bahwa harga yang terlalu rendah tidak menarik bagi developer.
“Karena kalau seperti saat ini semua dilimpahkan ke pengembang swasta untuk membangun [rumah subsidi]. Karena diberikan ke swasta maka tidak akan terlepas dari sisi bisnis meskipun saat ini marginnya pun kecil. Jika terus terjadi, pengembang tidak tertarik lagi mengembangkan rumah subsidi,” pungkas Ali.