Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah untuk mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) karena lebih banyak membawa dampak negatif, ketimbang menjadi strategi pengendali harga minyak goreng.
“Kelebihan pasokan minyak sawit yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik. Segera cabut larangan tersebut, bila perlu pekan ini,” kata Bhima dalam diskusi mengenai ekspor CPO, Jumat (13/5).
Menurut Bhima, larangan ekspor CPO dan minyak goreng membawa dampak negatif berganda, bukan saja kepada pelaku usaha kelapa sawit tetapi juga kepada 3 juta petani kelapa sawit di Indonesia.
“Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah penurunan harga TBS (tandan buah segar) petani kelapa sawit. Bahkan, sejumlah pabrik kelapa sawit dalam waktu dekat akan sulit menerima TBS dari petani karena tangki-tangki penyimpanan CPO yang mulai penuh,” jelasnya.
Di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah pasca pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu. Di Sumatera Selatan, harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram.
Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp 1.000 per kilogram menjadi sekitar Rp2.900 per kilogram. Penurunan harga TBS juga terjadi di wilayah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya seperti Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi.
Baca Juga
“Kebijakan larangan ekspor ini tidak efektif menjamin stabilitas harga minyak goreng karena masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi bukan bahan baku,” kata Bhima.
Selain itu, kata Bhima, kinerja makro ekonomi Indonesia terancam karena penurunan devisa ekspor sehingga bisa menjadi faktor yang menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai 35 miliar dolar AS atau lebih dari Rp500 triliun
Selain dari devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan bagi kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.
“Dengan harga CPO di pasar internasional yang sangat tinggi sementara di pasar domestik rendah akibat kelebihan pasokan, akan memicunya terjadinya penyelundupan. Ini akan membuat dinamika industri minyak sawit nasional semakin rumit dan runyam,” kata Bhima.
Dalam kesempatan yang sama, Petro Paganini, pakar komoditas dari John Cabot University Roma Italia, mengatakan di tengah kelangkaan minyak nabati global akibat perang Rusia dan Ukraina, dunia tidak punya pilihan lain kecuali mencari minyak sawit yang memang melimpah sumbernya.
“Tidak bisa dielakkan dunia membutuhkan minyak sawit. Pilihan paling memungkinkan mengembangkan minyak sawit karena tanaman ini lebih produktif dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya,” kata Pietro.