Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia tengah memasuki masa transisi menuju endemi Covid-19 seiring menurunnya jumlah terpapar yang terus mendekati angka 10.000 kasus aktif. Hal tersebut berdampak pada penurunan insentif fiskal dari Kementerian Keuangan untuk bidang kesehatan terhadap fasilitas impor penanganan Covid-19.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.04/2021, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memberikan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang-barang kebutuhan penanganan Covid-19 seperti vaksin dan alat kesehatan.
Pemberian fasilitas tersebut yaitu berupa pembebasan bea masuk dan/atau cukai, tidak dipungutnya PPN dan PPnBM, serta dibebaskan dari PPh 22 atas impor vaksin.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Hatta Wardhana mengungkapkan pihaknya berperan aktif membantu pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19. Berbagai fasilitas, inovasi, dan kemudahan pelayanan diberikan Bea Cukai dalam mendukung hal tersebut.
“Melalui pemberian insentif ini, biaya impor akan berkurang, sehingga dapat dialihkan untuk meningkatkan suplai kebutuhan lainnya. Hal ini menjadi salah satu upaya percepatan penanganan pandemi dan normalisasi kegiatan ekonomi, yang pada akhirnya berdampak pada pemulihan ekonomi nasional,” ungkap Hatta dalam keterangan resmi Bea Cukai, Senin (25/4/2022).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai pemerintah telah mengambil langkah yang tepat untuk mencapai kekebalan kelompok melalui berbagai insetif tersebut.
Baca Juga
Menurut Heri, ke depan, kala menuju endemi dan tingkat vaksinasi semakin tinggi akan memperkecil kebutuhan vaksin yang juga akan memperkecil jumlah insentif fiskal untuk impor vaksin.
“Jadi kalau nanti sudah waktunya, sudah benar-benar tidak pandemi, baru mungkin nanti kembali seperti biasa, mungkin nanti ada aturan mengenai impornya lagi,” ungkap Heri, Selasa (26/4/2022).
Sementara itu, Heri berpendapat bahwa kehadiran Vaksin Merah Putih seharusnya dapat menjadi prioritas yang nantinya jika kebutuhan kurang, dapat ditutup melalui impor.
Sejumlah kebijakan fiskal sejauh ini diberikan untuk menjaga kebutuhan dalam negeri dan menstabilkan harga komoditas. Alokasi tersebut akan terus berkurang seiring dengan pulihnya ekonomi yang nantinya akan memperkecil defisit.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menunjukkan periode November 2020 hingga Maret 2022, Bea Cukai berhasil memfasilitasi impor vaksin sebanyak 506,60 juta dosis yang terdiri dari 153,90 juta dosis bulk dan 349,59 juta dosis jadi. Nilai impornya mencapai Rp47,40 triliun dengan nilai pembebasan bea masuk dan PDRI sebesar Rp8,94 triliun.
Pada 2022, pemanfaatan fasilitas impor penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp893 miliar, yang terdiri dari fasilitas impor vaksin sebesar Rp719 miliar dan fasilitas impor alkes sebesar Rp174 miliar. Dari total nilai realisasi, impor vaksin masih mendominasi (81%), diikuti alkes (19%) seperti obat-obatan, PCR test kit, tabung oksigen, dan alat terapi pernapasan (oxygen concentrator, generator, dan ventilator).
Heri berharap bahwa semakin kecilnya anggaran untuk bidang kesehatan tersebut akan berdampak pada agenda pemerintah dalam mengakselerasi agenda yang sebelumnya tertunda.
“Kalau sudah pulih kan untuk apa didukung atau dibantu, anggaran digunakan kembali untuk melanjutkan agenda-agenda pembangunan yang selama ini tertunda seperti infrastruktur. Yang penting kita bisa memperkecil defisit,” ungkap Heri.
Jadi, menurut Heri wajar jika dana dikurangi sedikit demi sedikit. Hal ini pun menunjukkan bahwa berbagai sektor usaha semakin pulih dan dapat berjalan sendiri menuju normal. Sama halnya dengan dana PEN yang turun dari Rp744,77 triliun pada 2021 menjadi Rp455,62 triliun pada 2022.